Jakarta, Gatra.com – Enam anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Barat telah melaporkan dugaan tindak pidana korupsi pengadaan barang untuk penanganan Covid-19 pada tahun 2020 yang disinyalir terjadi di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sumatera Barat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin, (24/5).
Keenam pelapor tersebut adalah Hidayat dan Evi Yandri dari fraksi Gerindra, Nurnas dan Novrizon dari fraksi Partai Demokrat, serta Alber Hendra Lukman dan Syamsul Bahri dari fraksi PDI Perjuangan (PDIP).
Para pelapor di atas mengadukan Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Sumatera Barat dan pihak-pihak terkait perihal pengadaan barang untuk penanganan Covid-19 tahun lalu kepada KPK.
"Benar dan dokumen laporannya sudah diterima empat pegawai KPK di ruangan pelaporan dan pengaduan masyarakat Direktorat Pelayanan Laporan dan Pengaduan Masyarakat, Kedeputian Informasi dan Data KPK sekitar pukul 14.00 WIB,” jelas Hidayat.
Berdasarkan laporan materi terkait pengadaan barang untuk penanganan Covid-19 tahun anggaran 2020, tercatat lebih dari Rp7,63 miliar tak sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam laporan hasil pemeriksaan BPK Perwakilan Sumatera Barat terhadap laporan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat (LKPD tahun 2020).
Lebih lanjut lagi, Hidayat menjelaskan bahwa laporan ini berdasar pada Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat/Laporan Hasil Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern dan Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang Undangan oleh Badan Pemeriksa keuangan Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Sumatera Barat Nomor 40.C/LHP/XVIII.PDG/05/2021 tanggal 6 Mei 2021.
“Menurut hemat kami bahwa permasalahan yang menyebabkan pengadaan barang untuk penanganan Covid-19 tersebut tidak sesuai dengan ketentuan dan berpotensi merugikan keuangan daerah,” sambung Hidayat.
Hidayat membeberkan alasannya. Ia dan tim pelapornya menduga telah terjadi mark up atau pemahalan harga pengadaan hand sanitizer 100ml dan 500ml yang mengakibatkan indikasi kerugian keuangan daerah sebesar Rp4,847 miliar.
Selain itu, pelapor juga menyebut adanya dugaan transaksi pembayaran sebesar lebih dari Rp49 miliar yang tidak sesuai dengan ketentuan karena dilakukan secara tunai. Oleh karena itu, menurut mereka, transaksi semacam ini berpotensi disalahgunakan. Mereka menduga bahwa dalam transaksi tersebut terdapat pembayaran kepada pihak ketiga yang tidak dapat diidentifikasi sebagai penyedia barang.
Kemudian terdapat juga dugaan mark up pengadaan hazmat (APD premium) sebanyak 21.000 pcs senilai Rp375.000/pcs atau total sebesar Rp7,875 miliar. Dugaan lainnya berupa mark up dalam pengadaan masker bedah sebanyak 4.000 box dan pengadaan rapid test senilai Rp275.000/pcs atau dengan nilai kontrak Rp2,750 miliar. Kemudian terdapat juga dugaan mark up dalam pengadaan surgical gown sebanyak 15.000 pcs seharga Rp125.000/pcs dengan nilai kontrak Rp1,875 miliar.
Berdasarkan hasil temuan BPK tersebut di atas, menurut pelapor, maka pengadaan barang untuk penanganan Covid-19 pada BPBD Sumbar tersebut tidak sesuai dengan ketentuan senilai lebih dari Rp7,631 miliar. “Ini harapan kami dapat diproses secara hukum oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi,” ujar Hidayat.
Melalui panitia khusus, DPRD Sumbar juga telah menindaklanjut dan menetapkan rekomendasi kepada Pemerintah Daerah dan pihak-pihak terkait lainnya terkait temuan dugaan mark up hand sanitizer, dugaan tansaksi pembayaran yang tidak sesuai ketentuan, dan mark up hazmat tersebut di atas.
Selain itu, DPRD Sumbar juga menghormati proses hukum yang sedang ditangani oleh Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Barat. “Yang kami minta ke KPK adalah pengusutan temuan yang Rp7,6 miliar lebih," jelas Hidayat.