Jakarta, Gatra.com– Seni pada umumnya diproduksi dan dikonsumsi sebagai hiburan. Akan tetapi, pada situasi tertentu, seni juga bisa digunakan sebagai alat pergerakan, perlawanan, dan pembebasan politik.
Hal tersebut diungkapkan oleh dosen FISIP UNAIR, Airlangga Pribadi, dalam webinar bertajuk “Gambar dalam Perspektif Popular Democratic” yang digelar pada Sabtu, (22/5). Merujuk pada filsuf asal Italia, Antonio Gramsci, ia mengatakan bahwa seni bisa menjadi alat perlawanan masyarakat sipil terhadap kekuasaan hegemoni yang sedang bertakhta.
“Seni, lebih spesifiknya gambar, menjadi instrumen [bagi masyarakat sipil] untuk melakukan interogasi terhadap totalitas corak kekuasaan dan merupakan counter hegemony terhadap konstruksi hegemonik dominan,” ujar Airlangga.
Merujuk pada Gramsci, Airlangga membeberkan pembagian dua kekuatan yang terkandung pada sebuah konsep negara. Kedua kekuatan tersebut meliputi masyarakat politik dan masyarakat sipil. “Terdapat arena kontestasi, pertarungan, dari kekuatan-kekuatan sosial tersebut untuk merebut kekuasaan,” ujarnya.
Airlangga kemudian menjelaskan bahwa masyarakat politik ditandai oleh koersi, dominasi, hingga perumusan berbagai regulasi hukum. Contohnya adalah badan kekuasaan trias politica, aparat negara, dan militer.
Sementara masyarakat sipil meliputi media massa, lembaga pendidikan, dan institusi agama. Di dalam masyarakat sipil, terdapat juga pertarungan ide, gagasan, dan karya seni yang bisa digunakan sebagai alat merebut hegemoni, pengetahuan, dan kekuasaan.
Pada praktiknya sehari-hari—dan bercermin pada dinamika politik lokal maupun internasional dalam sejarah—dua kekuatan tersebut selalu berada dalam arena kontestasi. Keduanya selalu bersitegang. Yang satu ingin melanggengkan kekuasaan; satu lainnya ingin merebutnya.
Merujuk pada aktivis lingkungan asal Inggris, George Monbiot, Airlangga mengungkapkan bahwa kekuasaan hegemonik berada pada posisi yang lebih menguntungkan. Alasannya adalah karena kekuasaan ini didukung oleh pelaku-pelaku intelektual dengan kecenderungan politis yang serupa atau berada pada pihak status quo.
Sementara dari sudut pandang masyarakat sipil, seni bisa menjadi salah satu alat untuk merebut kekuasaan tersebut. Seni bisa menuangkan pesan-pesan perlawanan dan membuat narasi baru sebagai bentuk serangan balik terhadap narasi politik yang sedang berkuasa pada suatu periode tertentu.
Airlangga membeberkan contoh lukisan Yayak Yatmaka bertajuk “Tanah untuk Rakyat” yang populer di masa Orde Baru. Pada periode tersebut, Orde Baru memegang predikat sebagai kekuasaan hegemoni. Namun, lukisannya membeberkan sisi lain dari kekuasaan politik yang bertahan selama 32 tahun tersebut.
“Semua dibongkar oleh lukisan Kang Yayak. Semua narasi Orba itu dibongkar. Ada pengusiran petani. Rezim ini bukan dibangun dengan harmoni, tapi penindasan dan penghancuran kekuatan [politik] kiri. Ini adalah gambar [lukisan yang berperan] sebagai counter hegemony,” ujar Airlangga.
Airlangga menerangkan bahwa narasi arus utama pada masa Orde Baru adalah narasi pembangunan. Namun, lukisan Yayak berusaha menandingi narasi tersebut. “Kalau semakin banyak orang kaya, maka akan mengalir ke bawah. Itu didukung oleh utang luar negeri. Gambar [lukisan Tanah untuk Rakyat] Kang Yayak munculkan narasi sebaliknya. Pembangunan digambarkan dengan menginjak-injak rakyat,” sambungnya.
Dengan demikian, Airlangga menyimpulkan bahwa seni, terutama gambar atau lukisan, sejatinya tak hanya berperan sebagai alat hiburan saja. Seni juga bisa berperan sebagai alat perlawanan politik. “Gambar bisa membongkar suatu ideologi dominan,” pungkas Airlangga.