Jakarta, Gatra.com - Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) meminta para pelaku sawit tidak perlu khawatir dengan gaya Uni Eropa yang Indonesia akan meniadakan minyak sawit di Benua Biru itu pada 2030 mendatang.
"Kalau mereka tak mau memakai minyak sawit untuk Biodiesel dan makanan, silakan. Toh juga perkiraan kita, pada 2025, kebutuhan Fatty Acid Methyl Ester (FAME) untuk B30 kita sudah di kisaran 12,7 juta ton. Biohidrokarbon untuk Bensin 16,5 juta ton, kebutuhan domestik --- food dan oleo --- sekitar 13,8 juta ton. Kalau ditotal sudah 43 juta ton," rinci Direktur Eksekutif GIMNI, Sahat Sinaga, saat berbincang dengan Gatra.com, tadi siang.
Bahkan untuk memenuhi kebutuhan partner Indonesia; India, Pakistan, China dan Afrika Timur yang mencapai 15 juta ton, Indonesia justru harus sesegeranya menggenjot program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
"Ini yang musti disegerakan. Mana-mana yang menjadi ganjalan PSR itu, segera diberesi, lintas kementerian monggo bahu membahu untuk mengantar kebun rakyat ini menjadi kebun yang sustainable. Ini demi marwah Indonesia lho dan demi kemakmuran rakyat," Ketua Masyarakat Biohidrokarbon Indonesia (MBI) ini mengingatkan.
Moratorium kata Sahat tetap dipertahankan, fokus saja dulu Indonesia pada intensifikasi. "Dan tiga tahun lagi, sudah saatnya kita menyampaikan dengan sopan kepada EU; Sorry meneer, no more palm oil for you from Indonesia," ayah tiga anak ini tertawa.
Kepada para pembenci sawit, Sahat mengingatkan bahwa sampai saat ini luas kebun kelapa sawit dunia masih hanya 24 juta hektar.
Luasan ini masih belum ada apa-apanya ketimbang luas kebun kedelai (Soybean) dunia yang mencapai 127 juta hektar, Rapa (Rapeseed) 35,5 juta hektar dan Bunga Matahari (Sunflower) 27,6 juta hektar.
"Kalau bicara deforestasi, apakah kebun tiga tanaman itu di gurun pasir? Kalau tidak, tetap saja ujung-ujungnya membabat hutan!" Sahat menyindir.
Abdul Aziz