Jakarta, Gatra.com– Meski kehamilan adalah kebahagiaan bagi setiap pasangan yang menginginkan keturunan, secara ilmiah proses kehamilan ini merupakan suatu proses luar biasa yang sangat rumit mulai dari fertilisasi atau bergabungnya sperma dan telur, menempelnya buah kehamilan di dalam rahim, tumbuh dan berkembangnya janin serta plasenta yang terkadang tidak semuanya dapat berjalan dengan lancar. Ada pun, didapatkan satu kondisi berbahaya yang meskipun cukup sering terjadi namun masih belum terlalu dikenal, preeklampsia, kondisi ini spesifik hanya terjadi pada kehamilan.
Preeklampsia atau kondisi hipertensi atau meningkatnya tekanan darah yang terjadi pada saat kehamilan kadang dikenal juga dengan nama toxemia gravidarum / keracunan kehamilan. Kata Eklampsia sebenarnya diambil dari bahasa Yunani yang diartikan ‘lightning’ atau ‘petir’ sebagai perumpaman terjadinya kondisi kejang yang mendadak pada kehamilan. Pre-eklampsia sendiri adalah kondisi sebelum terjadinya eklampsia yang merupakan komplikasi menakutkan dari preeklampsia. Meskipun penyebab pasti belum dapat dijelaskan namun preeklampsia sering dihubungkan dengan adanya permasalahan plasenta. Oleh karena itu, preeklampsia terjadi pada paruh akhir kehamilan (diatas 20 minggu) atau setelah plasenta terbentuk di dalam rahim hingga 6 minggu seusai melahirkan, sebagaimana dilansir dari siaran pers yang diterima Gatra.com pada Jumat sore, (21/5).
“Kami menganggap serius masalah ini dari tahun ke tahun, demikian juga para dokter kandungan di seluruh dunia. Kami berharap para ibu hamil beserta pasangan dan keluarganya juga lebih menyadari bahayanya dengan mengenali gejalanya dan terbuka pada dokter kandungannya mengenai masalah kesehatan yang dialami. Dengan demikian, diharapkan kita bersama-sama bisa lebih meningkatkan awareness dan segera bergerak [act now, screen now] untuk mencegah terjadinya preeklampsia ini,” kata Ketua Satgas Penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi (PENAKIB) Surabaya, dr. Agus Sulistyono yang juga Ketua Divisi Kedokteran Fetomaternal Surabaya.
Meskipun tidak semua mengenalinya, sebenarnya pre-eklampsia ini terjadi pada lebih dari 10 juta wanita di seluruh dunia dan berdampak pada lebih dari 2,5 juta persalinan pre-term (persalinan sebelum masanya). Data dari International Society for the Study of Hypertension in Pregnancy dan Preeclampsia Foundation mencatat bahwa preeklamsia mengakibatkan kematian Ibu hingga sekitar 76 ribu disertai kematian 500 ribu bayi setiap tahunnya. Artinya, sekitar 10 persen atau 1 dari 10 ibu hamil ini akan mengalami preeklampsia dan 20 persen dari yang terdampak preeklampsia ini akan berhubungan dengan terjadinya persalinan preterm.
Keseriusan menghadapi preeklampsia ini sangat diperlukan, karena fakta menunjukkan kematian ibu sebanyak itu secara disproporsional 99 persen terjadi di negara dengan pendapatan perkapital yang rendah (low-middle income countries. Angka Kematian Ibu (AKI) bukan hanya sebagai indikator kesehatan, melainkan indikator kesejahteraan suatu negara, namun sayangnya AKI di Indonesia ini masih cukup tinggi atau sekitar 305 per 100 ribu kelahiran hidup. Di mana, jumlah ini menjadi terbanyak kedua di wilayah ASEAN (tertinggi Laos, AKI: 357; terendah Singapura, AKI: 7).
“Diproyeksikan sekitar 14.640 Ibu hamil meninggal setiap tahunnya dan ini terjadi secara konstan [jumlah yang sama dengan sepertiga total kematian terkait COVID-19 di tahun 2020]. Jika kita telaah lebih dalam lagi, ternyata mayoritas penyebab kematian ibu ini adalah preeklampsia [sekitar 33,07 persen],” ungkap dr. Manggala Pasca Wardhana dari Himpunan Kedokteran Fetomaternal (HKFM) Surabaya.
“Hingga saat ini, belum ditemukan terapi ataupun obat untuk preeklampsia. Satu-satunya cara untuk menghentikan proses hipertensi dan kerusakan organ adalah dengan menyegerakan persalinan, sehingga sumber toksin / racun yang berasal dari plasenta tadi dapat dilahirkan, diselesaikan dan dampak kerusakan organ ibu hamil dapat dihentikan,” tutur dr. Nareswari Imanadha Cininta Marcianora dari HKFM Surabaya, yang juga selaku Staf Divisi Kedokteran Fetomaternal Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Soetomo.
Meski belum dapat diterapi, namun Cininta menyebut bahwa preeklampsia dapat diprediksi melalui gejala berikut:
- Memiliki riwayat tekanan darah tinggi sebelum hamil,
- Memiliki riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya,
- Memiliki penyakit tertentu: diabetes, gangguan ginjal dan penyakit autoimun seperti lupus dan antifosfolipid,
- Obesitas (indeks masa tubuh kurang lebih 30 kg/m2),
- Riwayat keluarga menderita preeklampsia,
- Hamil kembar dua atau lebih,
- Hamil pertama kali,
- Jarak kehamilan terakhir kurang lebih 5 tahun,
- Dan berusia di atas 40 tahun.
Sehingga apabila ibu hamil mengalami hal tersebut, sebaiknya segera melakukan skrining risiko melalui tenaga kesehatan tempat pasien tersebut melakukan kontrol kehamilan (Act now, screen now).
Kebanyakan dari pasien yang mengalami preeklampsia tidak akan memberikan keluhan apapun. Oleh karena itu, ibu hamil wajib memeriksakan tekanan darah secara rutin, agar mengetahui secara dini jika didapatkan hipertensi. Jika ibu hamil sudah merasakan keluhan seperti pusing, pandangan kabur atau nyeri ulu hati dan sesak, umumnya kondisi ini identik dengan preeklampsia yang berat, yang kemungkinan besar berdampak pada komplikasi, kecacatan atau bahkan kematian bagi ibu dan janin.
Secara umum penatalaksanaan preeklampsia pada kondisi berat adalah persalinan, sehingga sering persalinan pada kondisi usia kehamilan yang masih dini diperlukan, sehingga timbul masalah lainnya yaitu meningkatnya prematuritas yang menjadi faktor utama tingginya angka kematian bayi. Tidak selesai di sini, beberapa penelitian juga menunjukkan dampak jangka panjang dari preeklampsia ini pada ibu tersebut, antara lain meningkatnya risiko stroke, hipertensi, diabetes melitus, kelainan ginjal hingga kelainan jantung.
Kondisi di negara berkembang seperti Indonesia juga tidak terkecuali mendapatkan dampak yang cukup berat akibat preeklampsia. Salah satu penelitian di RS rujukan tersier Surabaya menunjukkan, tingginya prevalensi preeklampsia hingga 21 persen dan yang lebih berat lagi ditemukan kondisi komplikasi organ yang cukup berat yaitu penumpukan cairan di paru-paru, hingga 5,6 persen kasusnya atau 2 kali lipat dari laporan negara lain. Ini menunjukkan, bahwa upaya pencegahan dan penanganan preeklampsia di Tanah Air masih belum baik sehingga masih sering ditemui kasus preeklampsia dalam kondisi yang sudah buruk.
Tindakan kesehatan yang paling penting dan memiliki dampak signifikan adalah prevensi atau pencegahan. Peningkatan edukasi kesehatan di bidang kehamilan ini dapat menjadi upaya pencegahan terjadinya preeklampsia sebagai salah satu komplikasi kehamilan yang berat.
Beberapa contoh upaya pencegahan ini telah dibuktikan di Surabaya melalui program PENAKIB (Penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi). Di mana, dengan menerapkan skrining preeklampsia secara masif di layanan kesehatan, dapat menurunkan angka kematian ibu dari 60 kasus di tahun 2012 hingga hanya 25 kasus di tahun 2019 lalu. Total kematian karena preeklampsia juga dapat ditekan dari 18 kasus menjadi hanya 10 kasus.
Tentunya, upaya pencegahan ini akan semakin berhasil jika pengetahuan dan awareness ini juga diketahui oleh ibu hamil atau bumil ataupun pasangan usia subur dan keluarganya. Sehingga, mereka dapat mengetahui bagaimana melakukan persiapan kehamilan, mengetahui apa potensi bahaya kehamilan seperti preeclampsia, ini dapat dicegah dan diminimalisir dampaknya. “Dengan memahami potensi bahaya yang dapat terjadi pada setiap kehamilan, kita bersama dapat meningkatkan kewaspadaan dan berjuang bersama untuk menurunkan angka kematian Ibu di Indonesia,” tutup Agus.