Jakarta, Gatra.com– Menjelang Hari Preeklampsia Sedunia yang jatuh pada 22 Mei 2021, Ketua Satgas Penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi (PENAKIB) Surabaya, dr. Agus Sulistyono, mengungkapkan hingga kini penyebab terbanyak kematian ibu di Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur (Jatim) dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Soetomo, Surabaya adalah preeklampsia atau kondisi hipertensi yang terjadi pada saat kehamilan.
“Baru yang kedua itu penyakit jantung dan pendarahan. Ya, jadi kita di Surabaya, Jawa Timur, 3 besar penyebabnya itu adalah demikian,” sambungnya, dalam edukasi virtual mengenai preeklampsia pada ibu hamil, yang diadakan pada Jumat siang, (21/5).
Sementara itu, kata Agus, Hari Preeklampsia Sedunia itu sebetulnya bukan untuk memperingati dengan senang-senang, akan tetapi justru memperingati dalam keprihatinan. “Jadi bahwa besok itu tanggal 22 Mei itu adalah merupakan Hari Preeklampsi Dunia, World Preeclampsia Day ya. Jadi itu adalah hari betul bahwa bukan kita memperingatinya adalah dalam ralam rangka memperingati seneng-seneng, tapi memperingati dalam keprihatinan,” ucapnya.
Agus pun menuturkan, sebelumnya mereka telah mencanangkan Hari Preeklampsi tersebut pada tahun 2013 lalu, namun gemanya tidak terdengar hingga kemana-mana. Alhasil, hanya di Gedung Grahadi atau Rumah Dinas Gubernur Jatim saja. “Kita sudah bersepakat pada saat itu untuk di Grahadi dengan Gubernur Jawa Timur pada saat itu, dengan semuanya. Tapi ternyata, gemanya itu tidak sampe kemana-mana, sehingga Hari Preeklampsia yang kita canangkan dulu tanggal 19 Oktober, ternyata 19 Oktober itu berlalu dengan demikian,” lanjutnya.
Ia mengatakan, alasan mengapa mereka mencanangkan Hari Preeklampsia untuk jatuh pada 19 Oktober, dikarenakan di tanggal tersebut merupakan pertemuan mereka pertama kali guna bertujuan menurunkan angka kematian ibu di Kota Surabaya dan Provinsi Jawa Timur. Di mana, pada saat itu juga memperingati 100 tahun pendidikan dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair) serta ditagih peran dari FK Unair dalam hal penurunan angka kematian ibu. Sehingga pada saat itu mereka bersepakat untuk memunculkan 10 deklarasi secara bersama di Gedung Grahadi.
Seraya Agus menambahkan, saat itu juga mereka mengharapkan tanggal 19 Oktober, yang mereka usulkan, dapat menjadi Hari Preeklampsia. Akan tetapi, ternyata banyak yang tidak setuju dengan alasan seperti, preeklampsia kenapa malah diperingati. Jadi, mereka merasa tidak enak jikalau harus memperingati hari tersebut.
“Ya sudah kalo begitu, hari kematian ibu saya bilang gitu, wah hari kematian tambah diperingati tambah enggak enak lagi, gitu. Jadi itu yang menyusahkan, akhirnya yasudah kita hanya sampe ke ide saja. Sayangnya kita tidak bisa menindaklanjujti dan tidak bisa meyakinkan dari yang lain-lain, sehingga Hari Preeklampsianya tidak jadi 19 Oktober, tapi artinya tanggal 22 Mei ini, ndak tau yang dari mana ini, dari dunia ini,” imbuhnya.
Agus menyebut, dengan adanya Hari Preeklampsi ini, bertujuan untuk mendidik masyarakat. Misalnya, arti dari preeklampsi itu. Kemudian setelah masyarakat mengetahuinya, mereka akan mengarah ke bagaimana preeklampsi itu dapat dicegah, diprediksi, ditangani dan mengapa preeklampsi dapat menyebabkan seorang ibu meninggal dunia.
“Sebetulnya, angka kematian ibu bukan tanggung jawab medis saja. Tetapi tanggung jawab semua dari kita ya,” pungkas Ketua Divisi Kedokteran Fetomaternal Surabaya itu.