Depok, Gatra.com – Multatuli, nama pena dari seorang Eduard Douwes Dekker (1820-1887), tak lekang dari ingatan kolektif bangsa Indonesia.
Multatuli muda mengawali ceritanya di negeri saat tahun 1838 sebagai pegawai pemerintah kolonial, kemudian berpindah-pindah dari suatu kantor ke kantor lainnya.
Hingga sampailah pada tahun 1856, sebagai Asisten Residen Lebak, Jawa Barat, ia mengundurkan diri karena tak tega menyaksikan ketidakadilan di hadapannya. Memuat penderitaan rakyat bumiputera yang diperas dan dianiaya oleh penguasa lokal. Multatuli mengecam sikap pemerintah kolonial Belanda yang mendiamkan penindasan di tanah jajahan.
Multatuli tak tinggal diam, ia menggoreskan pena guna menggugah kesadaran orang-orang tentang ketidakadilan. Multatuli menulis sebuah novel berjudul Max Havelaar yang terbit pada tahun 1860.
Melalui bukunya itu, Multatuli menguak praktik eksploitasi penguasa kolonial terhadap rakyat bumiputera, mempertontonkan mentalitas kelas menengah Belanda. Bukunya pun dinilai telah mampu mendobrak pakem sastra Belanda pada masanya, dan akhirnya dikenal luas secara Internasional.
Sejarawan JJ Rizal mengupas pertalian sastra Belanda dan Indonesia yang besar dipengaruhi oleh sosok Multatuli. Melalui pandangan Rob Nieuwenhuys terhadap Multatuli, JJ Rizal megawali penjabarannya.
“Rob Nieuwenhuys seorang ahli sastra dan sejarah Hindia Belanda. Dirinya merupakan seorang Multatulian. Dia dianggap sebagai penyambung dari tradisi Multatulian besar yang sudah dirintis oleh E. du Perron, orang yang dikatakan sebagai garansi pemikiran dari Douwes Dekker.” ungkap JJ Rizal pada webinar yang digelar oleh LabSosio-LPPSP FISIP UI bertemakan Nasionalisme Indonesia dalam Perspektif Postkolonialisme. Pandangan Rob Niewenhuys tentang Multatuli, pada Kamis (20/5).
JJ Rizal menceritakan bahwa pada tahun 1970-an, ketika Sitor Situmorang baru saja bebas dari penjara, kemudian mengalami kesulitan mendapatkan kerja di Indonesia dan menikah dengan seorang Belanda, Sitor diterima untuk mengajar bahasa Belanda di Leiden. Saat itulah dia bertemu dengan Rob Nieuwenhuys.
Rob menulis serangkaian kritik dan meminta Sitor untuk membacanya karena Sitor dianggap sebagai orang yang pertama mempertahankan posisi Multatuli di dalam era paskaproklamasi kemerdekaan ketika sikap antikolonial menaik.
“Sitor bersama Generasi Gelanggang adalah orang yang justru ingin memasukkan tradisi Sastra Belanda, Seperti juga Chairil, sebagai jenderalnya surat perwakilan Gelanggang bersama Asrul Sani ingin mempertahankan sambungan antara Sastra Belanda dan Sastra Indonesia dan Jembatannya adalah Multatuli.”
Untuk diketahui, Gelanggang adalah sebuah nama ruangan atau sebuah tempat berkumpul maupun pertemuan kebudayaan dalam warta sepekan Siasat (majalah Siasat). Pada mulanya, majalah Siasat ini diasuh oleh Chairil Anwar dan Ida Nasution, kemudian dilanjutkan oleh Asrul Sani, Rivai Apin, Siti Nuraini yang terakhir oleh Ramadhan K.H.
JJ Rizal mengungkapkan bahwa Sitor dianggap sebagai orang yang tepat untuk dilibatkan dalam menyusun karya-karya Multatuli karena menjadi orang pertama yang menerjemahkan dan memilih dari ratusan artikel mengenai Multatuli yang ditulis oleh Edgar du Peron sepanjang tahun 1920 hingga 1930-an. Rizal menambahkan, Edgar du Peron dianggap sebagai Panteon pemikiran kelompok Sutan Sjahrir di dalam arus pemikiran Nasionalisme Indonesia.
Pada tahun 1954, sebuah buku yang merupakan artikel-artikel Multatuli pilihan Edgar du Peron terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul "Menentukan Sikap". Menurut JJ Rizal, yang menarik dari pemilihan judul tersebut, Sitor Sitomorang seolah membawa suara angkatannya tentang Humanisme Universal.