Jakarta, Gatra.com – Tim Jaksa Penyidik Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Pidsus Kejagung) menyita satu bidang tanah dan bangunan di atasnya berupa Hotel The Nyaman di Badung, Bali.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak di Jakarta, Kamis (20/5), menyampaikan, aset berupa tanah dan Hotel The Nyaman tersebut disita karena diduga terkait kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asabri.
"Penyitaan aset milik tersangka yang berhasil disita dalam perkara tersebut yakni aset-aset milik dan atau yang terkait tersangka SW," katanya.
Penyitaan 1 bidang tanah dan bangunan di Kabupaten Badung, Bali, terkait kasus yang membelit mantan Dirut PT Asabri periode Maret 2016-Juli 2020 tersebut, telah mendapatkan penetapan izin penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri Denpasar Kelas IA.
Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Denpasar Kelas IA Nomor: 4/Khusus/Pen.Pid.Sus-TPK/2021/PN Dps tanggal 17 Mei 2021, aset milik atau yang berkaitan dengan tersangka SW ini, yaitu 1 bidang tanah dan bangunan sesuai Sertifikat Hak milik No. 9584 seluas 880 M2 yang terletak di Jl. Kubu Anyar No. 20 X, Kuta, Kabupaten Badung, Bali dengan pemegang hak atas nama Setiyo Joko Santosa.
Selain itu, penyidik menyita satu bidang tanah dan atau bangunan di Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan (Jaksel), juga terkait tersangka SW. Penyitaan tersebut sudah mendapatkan penetapan dari Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kelas IA.
Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kelas IA Nomor : 69 / Pen.Pid.Sus / TPK / V / 2021 / PN.Jkt.Pst., aset milik atau yang berkaitan dengan tersangka SW ini adalah 1 bidang tanah dan atau bangunan.
Menurut Leo, status tanah dan atau bangunan itu Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) No.1479 seluas 415 M2 yang terletak di Jalan Tebet Baru VIII, Nomor 14 RT 010/03, Kelurahan Tebet Barat, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, dengan pemegang hak atas nama Setiyo Joko Santosa.
"Kedua penetapan izin penyitaan tersebut, yang pada pokoknya memberikan izin kepada Penyidik dari Kejagung untuk melakukan penyitaan terhadap 2 bidang tanah dan atau bangunan di Kabupaten Badung, Bali, dan Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan," katanya.
Terhadap aset-aset para tersangka yang telah disita tersebut, termasuk milik atau terkait SW, selanjutnya akan dilakukan penaksiran atau taksasi oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) guna diperhitungkan sebagai penyelamatan kerugian keuangan negara di dalam proses selanjutnya.
Dalam kasus ini, Kejagung menetapkan 9 orang tersangka, yakni mantan Direktur Utama (Dirut) PT Asabri periode 2011-Maret 2016, ARD; mantan Dirut PT Asabri Maret 2016-Juli 2020, SW; mantan Direktur Keuangan PT Asabri periode Oktober 2008-Juni 2014, BE; mantan Direktur Asabri periode 2013-2014 dan 2015-2019, HS.
Selanjutnya, Kepala Divisi Investasi PT Asabri Juli 2012-Januari 2017, IWS, Dirut PT Prima Jaringan, LP; Dirut PT Hanson International Tbk, BTS; Komisaris PT Trada Alam Minera, HH, Direktur Jakarta Emiten Investor Relation, JS.
Ke-9 orang di atas disangka melanggar sangkaan primer, yakni Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Sangkaan subsidair, yakni Pasal 3 juncto Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Kejagung kemudian mengembangkan kasus ini dan kembali menetapkan BTS dan HH sebagai tersangka. Kali ini mereka menjadi pesakitan dalam kasus dugaan tindak pidana pencucian uang.
"TPPU dari predicate crime perkara tindak pidana korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi di PT Asabri yang diduga menyebabkan kerugian keuangan negara kurang lebih Rp 23 triliun," katanya.
Adapun kronologinya, yakni dalam kurun waktu tahun 2012 sampai dengan tahun 2019, PT Asabri (Persero) telah melakukan penempatan investasi dalam bentuk pembelian saham maupun produk Reksa Dana kepada pihak-pihak tertentu.
Penempatan investasi ini dilakukan melalui sejumlah nominee yang terafiliasi dengan BTS dan HH tanpa disertai dengan analisis fundamental dan analisis teknikal serta hanya dibuat secara formalitas.
Direktur Utama, Direktur Investasi dan Keuangan, Kepala Divisi Investasi sebagai pejabat yang bertanggung jawab di PT Asabri (Persero) justru melakukan kerja sama dengan BTS dan HH dalam pengelolaan dan penempatan investasi PT Asabri (Persero) dalam bentuk saham dan produk Reksa Dana yang tidak disertai dengan analisis fundamental dan analisis teknikal.
"Investasi tersebut melanggar ketentuan Standar Opersional Prosedur (SOP) dan Pedoman Penempatan Investasi yang berlaku pada PT Asabri (Persero)," ungkap Leo.
Atas dasar hal tersebut, terdapat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh direktur utama (Dirut), direktur investasi dan keuangan, kepala divisi investasi yang menyetujui penempatan investasi PT Asabri (Persero) tanpa melalui analisis fundamental dan analisis teknikal.
Penempatan investasi tersebut hanya berdasarkan analisa penempatan Reksa Dana yang dibuat secara formalitas, bersama-sama dengan Bentjok selaku Direktur PT Hanson Internasional, HH selaku Direktur PT Trada Alam Minera dan Direktur PT Maxima Integra, LP selaku Direktur PT Eureka Prima Jakarta Tbk, SJS selaku Konsultan, ES selaku nominee, RL selaku Komisaris Utama PT Fundamental Resourches dan Beneficiary Owner, dan B selaku nominee BTS saham SUGI melalui nominee ES.
Ulah tersebut mengakibatkan adanya penyimpangan dalam investasi saham dan Reksa Dana PT Asabri dan mengakibatkan kerugian sebesar Rp23.739.936.916.742,58 (Rp23,7 triliun lebih).
"Oleh karena itu, BTS dan HH sebagai pihak-pihak mengelola dan menimbulkan kerugian negara dlam hal ini PT Asabri (Persero), ditetapkan sebagai tersangka TPPU," katanya.
Kejagung menyangka BTS atau Bentjok dan HH diduga melanggar Pasal 3 dan atau 4 Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Menurut Leo, Tim Jaksa Pidsus Kejagung akan terus mengejar dan menindak siapapun pihak yang terlibat dalam perkara tersebut dan akan diminta untuk bertanggung jawab atas perbuatan yang telah dilakukannya.