Jakarta, Gatra.com – Pandemi Covid-19 belum usai. Dengan demikian, aktivitas ekonomi Indonesia pun masih berada pada posisi yang dilematis. Maju kena, mundur pun kena. Kekhawatiran kasus aktif yang meningkat apabila roda ekonomi diputar kembali masih menghantui pihak-pihak terkait di sektor ekonomi.
Tak terkecuali dari pihak Kementerian Keuangan RI. Lembaga tersebut menilai bahwa ketidakpastian yang berlarut-larut ini disebabkan oleh adanya gelombang-gelombang baru di suatu periode tertentu selama setahun lebih ke belakang. Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, mengatakan bahwa hal ini patut dijadikan sebuah pelajaran berharga.
Secara lebih spesifik, Suahasil menaruh perhatian pada tren kasus positif yang stagnan atau cenderung turun. Dalam pandangannya, tren tersebut tak berarti bahwa pandemi akan segera lenyap dari Tanah Air.
“Jadi ini bukan ada satu wabah terus kemudian hilang. Angka kasusnya bisa saja turun, tetapi bisa tiba-tiba naik lagi,” ujar Suahasil dalam webinar bertajuk Sustainable Ways to Implement Post-Covid-19 Recovery yang digelar pada Kamis, (20/5).
“Negara manapun harus belajar dari sini, yaitu ketika terdapat infeksi harian yang rendah, itu tak berarti Covid-19 sudah lenyap sepenuhnya. Saat ini, tingkat penambahan kasus Covid-19 di Indonesia sedang melambat. Namun, itu tak menjamin angka itu tak akan naik lagi. Kita masih harus terus hati-hati dan waspada,” sambung Suahasil.
Tren naik-turun semacam itu memang benar adanya. Di kesempatan terpisah sehari sebelumnya, Komisi IX DPR melaporkan catatan pengawasan mereka mengenai lonjakan kasus aktif harian dan kematian tatkala terdapat momentum libur panjang sejak pandemi merebak tahun lalu.
Menurut catatan mereka, pada saat Idulfitri tahun lalu, terdapat kenaikan kasus harian sebesar 93% dan tingkat kematian mingguan mencapai 66%. Saat libur panjang 20-23 Agustus 2020, terjadi kenaikan kasus positif hingga 119% dan tingkat kematian mingguan menyentuh 57%.
Lalu, pada libur panjang 28 Oktober-1 November 2020, kenaikan kasus pocitif Covid-19 mencapai angka 95% dan tingkat kematiannya sebesar 75%. Kemudian, saat libur akhir tahun yang dimulai dari 25 Desember 2020-3 Januari 2021, terjadi kenaikan kasus positif sebanyak 78% dan tingkat kematian mingguan sekitar 46%.
Di kesempatan yang sama sehari lalu, ahli biostatistik dan kesehatan masyarakat dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, mengatakan bahwa tren kasus aktif dan kematian memang menurun sejak terjadinya puncak gelombang pertama pada pekan ketiga Januari 2021.
Akan tetapi, Windhu mengingatkan pemerintah dan masyarakat untuk tetap skeptis mengenai hal ini. Penurunan tersebut patut dicurigai apakah betul-betul akibat penurunan infeksi atau karena turunnya tingkat testing semata.
“Sampai minggu ketiga Maret, itu tidak turun lagi, stagnan, flat, sampai hari ini. Memang di beberapa hari terakhir ini [bulan Mei] ada penurunan kasus seolah-olah, ya, tapi ternyata testingnya juga makin melorot,” tutur Windhu.
“Flat ini sesungguhnya antara minggu ketiga Maret sampai sekarang ini adalah tanda bahaya. Setiap ada penurunan kemudian flat, tidak turun lagi, itu adalah tanda yang harus diwaspadai. Ini harus diketahui oleh masyarakat maupun pemerintah,” sambungnya.
Windhu juga mengingatkan para pemangku kebijakan untuk memprioritaskan penggalakkan deteksi kasus dan bukan memfokuskan perhatian pada hasil tes semata. Ia menyebut bahwa banyak daerah di Indonesia yang terlalu fokus pada jumlah hasil tes. Jumlah hasil tes tersebut kemudian disinyalir dimanipulasi, atau ditekan supaya jumlahnya tidak besar, atau dicicil proses akumulasinya.
“Itu yang jadi masalah sehingga kalau besar kasusnya itu dianggap aib bagi daerah dan kemudian membuat mereka tidak bisa merelaksasi gerak ekonomi,” ujar Windhu.
Dengan demikian, Windhu meminta pihak yang berwenang, terutama pemerintah daerah, untuk memberi perhatian penuh pada rasio lacak isolasi. “Seharusnya 1 kasus positif harus diikuti 30 pelacakan kasus. Akan tetapi, kenyataannya sekarang hanya 1 banding 18,6. Itu artinya tracing kita, penyelidikan epidemiologi kita, masih rendah,” keluhnya.
Menurut Windhu, tren naik-turun kasus aktif dan kematian ini—terutama tatkala adanya momen libur panjang serta ditambah penanganan dan pengetatan keluar-masuk warga negara asing dan pemudik yang tidak serius—makin memperkusut perang antara bidang kesehatan dan ekonomi.
Epidemiolog dan peraktisi medis bersikeras bahwa kesehatan adalah nomor satu. Sebaliknya, pelaku ekonomi menilai perputaran uang jauh lebih penting.
Selepas Idulfitri 2021 ini, dilema yang sama diprediksi akan kembali terjadi. Kekalutan antara bidang kesehatan dan ekonomi dinilai akan semakin ruwet. Belum lagi soal hadirnya varian Covid-19 baru dari negara-negara asing seperti India dan Inggris yang masih mengintai dari celah-celah yang terkecil sekalipun, yang disinyalir bisa tercipta akibat longgarnya pengetatan masuknya warga negara asing ke Tanah Air.
“Ekonomi dan kesehatan ini bertempur. Selalu diminta ada keseimbangan antara ekonomi dan kesehatan. Padahal, ekonomi itu sebetulnya dampak dari kesehatan. Kalau kesehatannya bagus, ekonominya bergerak sendiri sebetulnya,” pungkas Windhu.