Home Internasional Saravanan: Perbudakan Modern di Pabrik Brightway Malaysia

Saravanan: Perbudakan Modern di Pabrik Brightway Malaysia

Jakarta, Gatra.com– Pada Desember 2020 lalu, dengan infeksi virus corona yang menyebar dengan cepat ke seluruh pabrik dan asrama pekerja di Malaysia, para pejabat setempat menggerebek pembuat sarung tangan lateks Brightway Holdings, dekat Ibu Kota Kuala Lumpur, Malaysia. Mereka mengatakan telah menemukan pekerja-pekerja yang tinggal di kontainer pengiriman dalam kondisi yang sangat jorok, sehingga Menteri Sumber Daya Manusia (SDM) M. Saravanan kemudian menyamakan para pekerja tersebut dengan “perbudakan modern”.

Sembilan belas bulan sebelumnya, pengawas dari firma audit sosial bagi kontraktor swasta yang membantu perusahaan memantau standar lingkungan, sosial dan etika lainnya dalam industri, mulai dari perusahaan mainan hingga minyak sawit, telah mengunjungi tiga fasilitas yang sama. Dalam 3 laporan yang lebih dari 350 halaman, mereka telah merinci 61 pelanggaran standar etika global dan kotak centang untuk 50 pelanggaran Undang-Undang perburuhan Malaysia. Meski begitu, ringkasan eksekutif dari setiap laporan menyimpulkan bahwa tidak ada tenaga kerja paksa, terikat atau tidak sukarela yang dipekerjakan di fasilitas ini, dilansir dari kantor berita Reuters pada Rabu, (19/5).

Adapun diketahui, pelanggan Brightway termasuk beberapa pemasok perawatan pribadi dan peralatan pelindung terbesar di dunia. Sementara itu, Direktur Pelaksana Perusahaan, G. Baskaran, membagikan laporan audit dari 2019 dan 2020 kepada kantor berita Reuters pada bulan April lalu dan mengatakan laporan tersebut menunjukkan, mereka tidak mempraktikkan kerja paksa atau perbudakan modern dalam bentuk apa pun.

Merespon hal ini, lebih dari dua lusin auditor, badan pengawas, pekerja pabrik dan kelompok hak buruh mengatakan kepada kantor berita Reuters, di mana mereka menyebut kesimpulan yang kontras itu justru menyoroti kekurangan yang tidak banyak diketahui dalam upaya global untuk memantau kondisi ketenagakerjaan. Kemudian dengan audit sosial, laporan independen yang digunakan oleh merek global untuk menguji pemasok mereka memenuhi norma etika, tidak selalu efektif dalam mengidentifikasi risiko ketenagakerjaan. Bahkan, dapat mengaburkannya.

Tidak ada bukti ketidakwajaran oleh auditor yang dipekerjakan Brightway, perusahaan Inggris Intertek Group (ITRK.L), yang menolak untuk berkomentar tentang Brightway. Intertek mengatakan, auditnya telah memenuhi prosedur operasional yang ketat dengan standar yang ketat dan mereka sendiri tunduk pada audit independen reguler dan menyeluruh, namun tidak disebutkan oleh siapa.

Di samping itu, baik Saravanan, menteri kabinet Malaysia yang mengkritik Brightway di TV nasional, maupun kementeriannya juga tidak menanggapi permintaan komentar lebih lanjut.

Sementara itu, firma audit menuturkan kepada kantor berita Reuters, yakni hukum di seluruh dunia memang melarang penggunaan kerja paksa, tetapi tidak ada aturan yang mengatur kualitas audit, yang bersifat sukarela. Auditor biasanya dibayar oleh perusahaan yang mereka audit dan dapat menimbulkan potensi konflik kepentingan jika pengawas merasa terdorong untuk memberikan laporan positif guna mempertahankan bisnis. Di luar ini, inspektur dan pekerja Brightway menerangkan kepada Reuters, perusahaan dapat memanipulasi apa yang dilihat auditor di lokasi.