Gaza, Gatra.com – Agresi Israel terhadap Palestina telah memasuki hari kesembilan atau pekan kedua. Puluhan ribu warga Palestina terpaksa mengungsi ke sejumlah sekolah yang dikelola UNRWA, badan PBB untuk pengungsi Palestina.
Seorang pengungsi bernama Suheir al-Arbeed bercerita, dia dan ratusan keluarga yang tinggal di utara dan timur Gaza harus meninggalkan rumah saat merasakan tanah yang mereka injak berguncang hebat akibat serangan Israel pada Kamis malam.
“Kami melarikan diri dengan berjalan kaki. Tidak ada mobil atau transportasi yang tersedia,” kata al-Arbeed, yang rumahnya terletak di wilayah Shujaiyah di timur laut Gaza.
Dalam kegelapan malam, mereka berjalan beberapa kilometer menuju sekolah yang menjadi tempat pengungsian. Namun, kondisi di pengungsian juga tidak lebih baik.
“Kami butuh makanan, pakaian, selimut, kasur, dan susu,” kata al-Arbeed, yang melahirkan dua pekan lalu seperti dikutip dari Al Jazeera, Selasa (18/5).
Meski telah ia susui, bayinya terus menangis karena masih lapar. Dia menambahkan, punggungnya terasa sakit akibat tidur beralaskan selimut tipis di lantai.
Sementara itu, bagi Umm Jamal al-Attar, ini bukan kali pertama dia dan keluarganya mengungsi. Selama perang Gaza 2014, mereka menghabiskan 40 hari berlindung di sebuah sekolah.
Umm Jamal, suami dan lima anaknya segera lari keluar dari rumah mereka di Atatra setelah melihat rumah tetangganya menjadi sasaran rudal Israel. Serangan itu menewaskan Lamya al-Attar dan ketiga anaknya (Amir, Islam dan Mohammed) yang tinggal di lantai dua sebuah apartemen.
“Israel membombardir kami dengan rudal dan penembakan. Mereka juga menembakkan semacam gas,” kata Umm Jamal.
Dia menambahkan bahwa dirinya belum bisa pulang ke rumah untuk sekadar mengambil pakaian atau makanan.
Dia juga harus memutar otak untuk mengalihkan perhatian anak-anaknya dari ketakutan yang mereka alami selama ini. Pasalnya, saat ini mereka terus membicarakan soal pemboman.
Pengungsi lainnya bernama Majda Abu Karesh mengaku telah lima hari tidur di lantai kosong. Dia menyebut belum menerima makanan atau persediaan apa pun dari UNRWA, bahkan tidak ada air minum yang bersih.
“Ini adalah perang keempat, yang membuat kami harus mencari perlindungan di sekolah,” katanya. Menurutnya, setiap pengungsi harus mengurus diri sendiri terkait kebutuhan pokok.