Jakarta, Gatra.com - Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dilaporkan menembak mati seorang guru Sekolah Dasar (SD) pada tanggal 9 April 2021 dan juga seorang tukang ojek lima hari kemudian. TPNPB sendiri telah mengakui kebenaran peristiwa itu dan mengklaim tanggung jawab atas perbuatannya.
Namun, aktivis HAM Papua, Veronica Koman, punya pandangan tersendiri mengenai kedua peristiwa ini. Aktivis yang peduli terhadap isu-isu pelanggaran HAM sejak peristiwa Paniai 2014 itu menilai bahwa TPNPB menembak mati guru SD dan tukang ojek karena kelompok separatis tersebut curiga keduanya merupakan intel atau mata-mata.
Meski demikian, Veronica juga sempat terkejut dengan peristiwa ini. Ia mengklaim bahwa orang-orang yang menaruh perhatian terhadap isu-isu Papua juga mendapati keheranan yang sama.
“Biasanya guru itu amat sangat dihormati, disegani, dan dicintai oleh orang-orang Papua. Dokter dan guru, dua profesi, ya sama pendeta lah ya, tapi dalam konteks profesi, guru dan dokter itu sangat dilindungi, gitu,” ujar Veronica kepada Gatra.com beberapa waktu lalu.
“Ketika mereka ada acara adat, gitu ya, bakar batu yang makan-makan itu, yang pertama dikasih makan itu guru, dokter. Mereka dikasih daging yang paling bagus segala macam,” tambah Veronica.
Namun, Veronica mengatakan bahwa Dewan Gereja Papua telah meminta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Papua untuk meninjau ulang Memorandum of Understanding (MoU) antara dinas tersebut dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
“Jadi, di Papua itu ada MoU antara Dinas Pendidikan Papua dengan dinas TNI bahwa TNI boleh mengajar di sekolah di Papua. Jadi memang saya perhatikan juga, sejak [isu] Papua meledak tahun 2019, ada perang ideologi menyasar anak-anak sekolah di Papua,” tutur Veronica.
“Kayak mereka masuk ke sekolah-sekolah. Dan itu doktrinasi, bukan mengajar apa-apa. Ya mungkin ada mengajar, tapi banyaknya indoktrinasi. Orang judul yang dikasih oleh TNI [di akun-akun media sosial TNI] sendiri adalah ‘Menyanyikan Lagu Kebangsaan’ apa segala macem. Nah, jadi TNI sering masuk ke sekolah itu malah membahayakan guru sipil karena guru-guru sipil bisa dikira sebagai TNI,” imbuh Veronica.
Veronica juga menerangkan bahwa aktivitas TNI yang mengajar di sekolah telah membuat para aktivis Papua mengurungkan niat untuk menyekolahkan anaknya. Pasalnya, menurutnya, TNI kerap melakukan interogasi kapada anak-anak sekolah tersebut.
“‘Bapak kamu ke mana? Ngapain?’ kayak gitu-gitu jadi cari tahu, korek-korek dari anak. Juga karena takut anak-anaknya diapa-apain. Kan, dianggapnya TNI itu musuh, gitu. Jadi itu implikasinya banyak sekali,” tutur Veronica.
Kecurigaan yang sama juga menyasar tukang ojek. Veronica menerangkan bahwa label intel yang disematkan kepada tukang ojek sudah menjadi rahasia umum di Papua.
“Banyak sekali tukang ojek itu intel karena, kan, tukang ojek tuh mobile banget ya, fleksibel, ke mana-mana segala macem. Itu udah jadi pengetahuan umum di Papua. Jadi itulah kenapa tukang ojek biasanya sering disasar,” tuturnya.
Veronica menilai bahwa TPNPB tidak sekonyong-konyong menembak guru SD atau tukang ojek begitu saja. Menurutnya, sebelum menembak sasarannya, TPNPB sudah memastikan bahwa yang disasar adalah mata-mata yang menyamar. Seperti diketahui, TPNPB pun menyertakan alasan ini dalam klaimnya setelah kejadian penembakan guru SD sebulan silam.
Oleh karena itu, Veronica berharap resolusi damai antara negara Indonesia dengan Papua bisa segera terwujud. Ia menilai bahwa pendekatan yang lebih humanis dari aparat negara bisa menghentikan tumpah darah di Papua sebagai hasil dari konflik berkepanjangan sejak kurang lebih setengah abad silam, yakni dekade 1960-an sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969, merujuk pada laporan dari ICTJ dan ELSHAM.
“Tapi siapapun itu, mau dia TNI, Polri, sipil, OPM, itu semua sama nyawa. Itu semua sama harga nyawanya. Jadi makanya udah cukup gitu darah mengalir di Papua. Siapapun itu. Seharusnya Jakarta ubah cara pendekatan, gitu. Jangan kekerasan, ini udah puluhan tahun. Udah terbukti gagal gitu,” ujar Veronica.