Jakarta, Gatra.com– Tampak seorang pria calon mualaf menggunakan peci hitam, sebut saja bang Idrus, sedang duduk di depan petugas pengislaman, didampingi dua orang saksi, dan sedang bersiap mengucapkan syahadat untuk memeluk agama Islam di lantai 4 Bagian Ibadah dan Dakwah, kompleks Masjid Sunda Kelapa, Jakarta, pada Jumat siang (07/05).
Sekitar 6 meter tidak jauh dari meja tersebut, tampak seorang wanita berhijab, sang calon isteri, ikut menyaksikan dambaan hatinya sang calon suami yang sebentar lagi akan menjalani proses pengislaman. Dengan pelan, jelas, dan sabar, seorang petugas memimpin proses pengislaman, hingga saat membimbing calon mualaf dalam mengucapkan syahadat. “Bagaimana saksi, sah? .....(sah! balas para saksi) ....Alhamdulillah .....
Masuklah Islam secara menyeluruh, gak bisa dipilih-pilih. Jangan hanya mau nikah aja masuk Islam”, ucap Ustad Agustin Amirudin, Petugas Pengislaman dan Konsultasi Agama. Proses tersebut berjalan dengan baik dan lancar, walaupun sempat terjadi pengulangan saat mengucapkan syahadat.
Sebelum menjalani proses tersebut, setiap calon mualaf akan kembali ditanya ulang oleh petugas mengenai surat pernyataan keinginan dan keikhlasan untuk melepas agama yang dianutnya, dan kemudian memeluk agama Islam secara sadar dan tanpa paksaan. Tidak sedikit juga mualaf yang benar-benar ingin mempelajari Islam bukan sekedar hanya sebagai persyaratan menikah.
“Waktu itu ada yang umurnya 20 tahun. Mungkin ada ketidaksesuaian dalam pemikirannya terhadap aturan atau prosesi keagamaan dari yang dianut sebelumnya. Dan kemudian mencari yang sesuai dan nyaman. Dua bulan mempelajari apa itu Islam sebelum akhirnya mengucapkan syahadat”, kata Agustin.
Teknologi informasi yang semakin canggih dan terus berkembang, mempermudah dan dapat menjadi sarana orang untuk melakukan “pencarian” dan mempelajari berbagai macam informasi, termasuk agama. “Ada juga koq orang jadi mualaf karena membuka youtube, melihat gerakan cara salat, terus mencoba untuk mempraktekannya. Suatu bukti masih ada orang yang seperti itu”, imbuhnya.
Mualaf dengan motivasi untuk nikah, dan kemudian pembinaannya tidak berjalan dengan baik atau bahkan dilepas begitu saja, mempunyai kemungkinan cukup besar untuk kembali ke agama asalnya. Tetapi tidak menutup kemungkinan juga yang motivasi awal untuk nikah, kemudian seiring dengan waktu, panggilan untuk mempelajari Islam menjadi maksimal. Bagi orang yang sudah menjalani pengislaman di Masjid Sunda Kelapa, wajib untuk mengikuti pembinaan sebanyak empat sesi, di mana sesi artinya satu materi.
Empat sesi tersebut adalah:
1.Studi Dasar Islam
2.Ibadah Syariah
3.Baca Tulis Al-Qur'an
4.Pendidikan Akhlak
Bisa dikatakan waktu empat sesi terbilang cukup singkat, tapi minimal, diharapkan dapat mengenalkan Islam bagi mereka yang baru memeluknya. Bagi yang benar-benar merasakan hidayah, tidak menutup kemungkinan akan kembali lagi walaupun empat sesi tersebut telah dijalani, itu karena dorongan rasa ingin belajar.
“Itulah kenapa kita menetapkan 4 sesi sebagai persyaratan keluarnya sertifikat, merasa bertanggung jawab sebagai saksi dari syahadat yang diucapkan oleh mereka. Jangan sampai mereka hanya sekedar mengucapkan syahadat, dapat sertifikat, terus selesai begitu saja”, tegas Agustin.
Hidup di lingkungan yang mayoritas muslim di daerah Pantura, Jawa Tengah, membuat Idrus tidak merasa asing dengan Islam. Orang tua sudah mengetahui keinginannya untuk memeluk agama Islam sejak tahun 2007. Ia pun mengaku telah menjalani puasa dan mengaji di tahun yang sama. Bang Idrus bukan satu-satunya mualaf di dalam keluarganya.
Di mulai dari paman, kemudian adik perempuan paling kecil yang lebih duluan pada 2015. Hubungan keluarga tetap adem-ayem dan tidak ada masalah dengan pilihan agama. “Gak ada masalah sih karena paman dan adik juga mualaf, yang penting tetap menjaga toleransi. Sebenarnya status sewaktu menganut agama sebelumnya belum jelas juga, karena belum mengikuti prosesi keagamaannya. Tidak merasa terpanggil untuk mengikutinya”, ungkap Idrus dengan wajah tersenyum lega.
Rombongan yang terdiri dari empat laki-laki dan seorang wanita, menemani Desi, wanita Tionghoa, dalam proses pengislaman di Masjid Lautze, Sawah Besar, Jakarta, pada hari minggu malam(02/05). Menggunakan hijab, ia duduk dengan posisi di antara dua sujud di depan meja kecil dekat mimbar, dan dua saksi di sisi kiri-kanan meja. Terlihat serius dan tampak menikmati nasehat pembuka yang diberikan oleh petugas pengislaman.
“Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah ...... Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah”, suara Desi dengan lantang, tegas, dan tanpa keraguan saat mengucapkan syahadat. Kedua saksi pun langsung mengatakan sah ketika petugas pengislaman bertanya. Di antara rombongan terdapat sosok pria, Ade, yang ikut bernafas lega dan bahagia setelah calon isterinya dapat melaksanakan proses itu dengan baik.
Sertifikat sebagai tanda bukti menjadi mualaf akan diberikan setelah satu bulan. Tetapi karena masa pandemi dan tidak ada pengajian, ia diharapkan untuk tetap belajar secara mandiri dengan dibantu teman-temannya. “Untuk ke depan, Desi harus tetap mendalami agama dan menjalankan ibadah maupun amaliah secara Islam. Dengan dibantu oleh calon suami maupun saudara dan kerabat. Jangan lupa untuk mengaji, jangan sampai setelah menjadi muslim terus kendor dalam belajar agama.
Memang ada tahapan-tahapan tetapi harus tetap belajar,” nasehat Ustaz Naga Kunadi sebagai Petugas Pengislaman Masjid Lautze Jakarta. Pihak Yayasan Haji Karim Oei akan menyerahkan sertifikat tersebut ketika dia sudah dapat membaca beberapa surat, minimal Al-Fatihah, dan mengetahui aturan, cara dan gerakan salat. Perlu diketahui, peraturan yayasan juga tidak mengijinkan pihak mualaf untuk memotret sertifikat tersebut, khawatir akan disalahgunakan.
Keluarga dan saudara Desi kebetulan dari macam-macam pemeluk agama. Sang kakek juga berbeda dengan agama dari orang tuanya, sedangkan saudara-saudara dari ibunya kebanyakan Islam. Ia telah menjalin hubungan dengan pria muslim idamannya sekitar 7 tahun, dan telah diperkenalkan ke keluarganya. Dan memang Islam bukan hal yang asing untuknya.
“Sebenarnya sudah lama, tapi karena keluarga kali yaaaa, jadi agak takut. Nunggu waktu agak lama, untuk berani ngomong ke orang tua, tetapi untuk menguatkan hati untuk masuk Islam sudah sekitar dua tahun ini. Berani bicara kepada orang tua untuk masuk Islam baru sekitar satu setengah tahun .....sebelumnya belum diijinkan. Dan dua bulan yang lalu, bicara lagi untuk minta ijin, akhirnya bapak saya ikhlas. Tidak ada sedikit pun keraguan saat masuk ke masjid untuk mengucapkan syahadat”, kata wanita berhijab ungu ini.
Perizinan atau persetujuan keluarga sering menjadi kendala saat orang memutuskan untuk pindah agama, sehingga harus sembunyi-sembunyi. Selain faktor keluarga, masalah juga bisa datang dari keraguan si calon itu sendiri. Dan keraguan dipicu oleh minimnya informasi yang didapat tentang pengetahuan Islam, atau mungkin lebih sekedar aksesoris. “Aksesoris itu misalnya seperti ketika berbicara Islam yang dibicarakan hanya tentang surga-neraka, nah agama lain kan juga punya, walaupun menurut versi mereka. Kalau disini, kita mengutamakan pengetahuan tauhidnya dulu, apakah dia mau tulus menerima Allah SWT sebagai Tuhan?” kata Naga.
Berawal dari pengalaman bunga tidur yang menyeramkan semasa masa masih duduk dibangku sekolah, ia secara tidak sengaja menemukan jawaban mimpinya di sebuah toko buku. “Sama teman jalan ke toko buku, terus lihat Alquran di rak, iseng-iseng saya buka, bukanya malah dari belakang, langsung ketemu surat Annas, kemudian beberapa ayat lagi. Saya kaget, koq mimpi saya ada situ. Ini membuat saya penasaran, semakin terus membaca kok makin seru,” kenang pria kelahiran 15 April 1976.
Ia mengaku sempat tidak tertarik pada awalnya. Setelah lulus sekolah, ia pun langsung mendapat pekerjaan serta mess, dan itu artinya punya uang untuk membeli buku tentang Islam. “Sejak itu semakin intensif belajar tentang Islam, dan Februari 2002 meyakinkan diri saya untuk mengucapkan syahadat,” ucap Ustaz Naga Kunadi yang mempunyai nama Tionghoa Qiu Xue Long.
Kisah yang berbeda dirasakan Lucky Aristio, seorang pemuda yang dulu tinggal dengan seorang paman beragama muslim di lingkungan yang mayoritas muslim juga. Secara alami ia bergaul dengan teman-teman muslim juga. Ayahnya beragama non muslim sedangkan ibunya menganut agama Islam. Sebagai pelajar, ia pernah merasakan pendidikan sekolah dasar Islam selama 4 tahun, dimulai dari kelas 3 pada tahun 2005 hingga lulus.
Pada waktu itu agamanya masih non muslim. Belum terbersit olehnya untuk menengok agama Islam, ia hanya menjalankan formalitas mengikuti pendidikan sekolah saja. Liburan kelulusan sekolah dasar pada 2009, gelitik rasa untuk melakukan perubahan semakin terasa. “Waktu lulus SD itu saya sudah hafal Juz – Amma, tapi belum ada niatan. Tapi kemudian Allah SWT seperti mengetuk hati saya untuk memilih Islam pada tahun 2009”, kata Lucky. Dan pondok pesantren pun jadi pilihan untuk meneruskan jenjang pendidikan berikutnya.
Meneruskan pendidikan di pesantren kurang disetujui oleh sang ayah. “Sebuah keputusan yang berat, situasi yang langsung bersinggungan dengan seorang bapak. Saya didukung mama, yang kebetulan seorang mualaf juga, lebih duluan dia dari saya,” ujar sarjana tehnik kimia dari Universitas Muhammadiyah Jakarta. Bersitegang memang tidak bisa dihindari, walaupun pada akhirnya sang bapak merelakan dan menghormati pilihan agama dari anak laki-lakinya tersebut. Catatan dan syarat pun diberikan, putranya harus menjalankan agama dengan baik dan tetap toleransi dengan agama yang terdahulu atau agama lainnya.
“Memang jalannya terjal, dan tarik ulur, tapi saya tabah dan sabar. Bagaimana pun juga, dia adalah bapak saya, tidak ada cerita namanya bekas ayah atau bekas anak”, kenang Lucky. Membelai hati sang ayah dengan membuktikan pada capaian prestasi pendidikan seperti menjalani SMP hanya 2 tahun dengan program akselerasi, begitupun juga saat SMA.
“Selain menyukai ilmu pengetahuan, saya juga ingin menunjukkan kepada bapak bahwa ini lho orangnya yang memeluk agama Islam tapi bisa berprestasi. Ini agar dia lebih terbuka mata hatinya”, ujar pemuda berumur 24 tahun. Sikap toleransi tetap dijalankan seperti saat sang ayah sedang merayakan hari raya, atau bersama saudara-kerabat, dengan mengedepankan niat kumpul keluarga atau family gathering. Ia pun tetap menyempatkan waktu untuk membantu murid mualaf lainnya dalam mengaji personal di Masjid Lautze.
Sangat beragam alasan orang mau masuk Islam tapi memang didominasi alasan untuk menikah. Tapi tidak sedikit juga yang masuk karena hidayah, mempunyai kemauan untuk benar-benar mempelajari Islam. Berita-berita tentang kekerasan pada negara-negara Islam di kawasan timur tengah, seperti isu ISIS, Afghanistan, Irak, dan sebagainya, sedikit-banyaknya mempunyai dampak negatif terhadap cara pandang orang tentang Islam.
“Ada seorang peneliti dari negara Amerika Serikat, yang melakukan penelitian tentang Islam di beberapa negara. Tapi akhirnya menjadi mualaf karena melihat Islam yang ada di Indonesia. Peneliti itu melihat Indonesia sangat berbeda. Ada juga ulama-ulama dari negara konflik yang datang ke Indonesia menganggap Islam di negara ini sangat baik sekali. Karena di sana, anak-anak dari umuran SD atau SMP sudah dikenalkan dengan senjata, sedangkan anak-anak di sini banyak yg hidup di pesantren dan hafal Alquran”, kata Ustad M.Kamil, seorang Petugas Pengislaman dan Konsultasi Agama yang cukup senior. Gatra dapat bertemu langsung saat menyambangi kantornya di lantai 4, Bagian Ibadah dan Dakwah, Kompleks Masjid Sunda Kelapa, Jakarta pada Rabu sore (12/05).
Masjid Sunda Kelapa telah menjadi tempat pembinaan mualaf sejak tahun 1976. Telah melaksanakan pengislaman warga negara asing (WNA) sekitar 30 persen dari jumlah total sebesar 19.357 orang. Mereka berasal dari negara seperti, Jepang, Korea, Amerika Serikat, beberapa negara Eropa. Menurutnya, kendala atau bisa juga menjadi tantangan ke depan adalah sistem pendataan mualaf. Sampai saat ini belum ada sistem pendataan online yang terpadu antara lembaga pengislaman di Indonesia.
Sistem pendataan online dapat mengantisipasi bila ada seseorang yang ingin menjadi mualaf dengan niat yang tidak baik. Persyaratan untuk mendaftar pengislaman antara lain, surat pernyataan, KTP, Kartu Keluarga, paspor bagi WNA, pas foto, kemudian materai. “Jalur pendataan terpadu secara online belum ada di antara lembaga pengislaman di seluruh Indonesia, begitu juga dari lembaga pengislaman ke pemerintah. Misalnya si A masuk di sini, sertifikat sudah di pegang tapi agama di KTP belum diubah, bahkan nanti bisa melakukan pengislaman lagi di tempat lain, kan bisa terjadi karena tidak ada data terpadu”, kata Kamil.
Tidak ada perbedaan antara Islam turunan dengan mualaf. Ada sebuah contoh pengislaman karena alasan nikah, di mana si mualaf lebih tekun mendalami agama dari pada pasangannya yang lahir dari orang tua beragama Islam. Hal itu terjadi karena pasangannya yang muslim turunan tidak pernah menuntun, menjalankan ibadah, atau bahkan memberikan contoh yang baik kepada pasangannya yang diajak mualaf. “Sering terlihat mualaf lebih istiqomah dalam mempelajari, mendalami, menjalankan agama Islam...nah jangan sampai teman-teman yang sudah Islam dari turunan tapi kalah dari mereka yang mualaf. Mari kita sama-sama tingkatkan ibadah, dan lebih memperdalam Islam”, ujar pria Cirebon kelahiran 12 Januari 1969.
Berbagai macam kisah perjalanan menjadi seorang mualaf, semoga tetap di jalan yang telah dipilih, untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Foto dan Teks: Jongki Handianto