Yogyakarta, Gatra.com - Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada menyatakan penonaktifan 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak lepas dari keputusan Ketua KPK Firli Bahuri. KPK dikhawatirkan makin dikuasai polisi. Diamnya Presiden Joko Widodo dipertanyakan.
"Kenekadan pimpinan KPK membuang 75 pegawai meski diprotes banyak pihak menunjukkan memang ada sesuatu yang menjadi motif pimpinan KPK, khususnya Ketua KPK Firli Bahuri untuk menyingkirkan pegawai KPK dengan segala cara," tutur peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman, Jumat (14/5).
Menurut dia, upaya untuk menyingkirkan pegawai KPK berintegritas telah melalui berbagai cara, seperti kekerasan, intimidasi, dan menersangkakan pegawai. Setelah bertahun-tahun gagal, upaya ini sekarang hampir berhasil lewat tes wawasan kebangsaan (TWK).
Tes tersebut, kata Zaenur, atas perintah Firli, bukan lewat UU dan peraturan pemerintah. Perubahan UU KPK memuat ketentuan untuk sekadar mengalihstatuskan pegawai KPK sebagai ASN.
"Jadi bukan seleksi ulang karena pegawai KPK waktu masuk sudah melalui tahapan seleksi, pendidikan, dan pengabdian sekian lama. TWK dirancang untuk menyaring nama-nama yang selama ini diincar oleh pihak-pihak tertentu karena kerja pemberantasan korupsi mereka ancam banyak pihak terutama koruptor," katanya.
Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pun menyatakan alih status itu tidak boleh merugikan pegawai KPK.
"TWK ini bertentangan dengan UU KPK dan putusan MK. Ini bentuk kesewenang-wenangan pimpinan KPK, khususya Ketua KPK. Nama-nama yang tidak lolos TWK punya banyak catatan masa lalu bergesekan dengan Ketua KPK saat ini yang sering dijatuhi hukuman etik," tutur Zaenur.
Zaenur pun menyayangkan sikap Presiden Joko Widodo atas kondisi ini. Sementara pihak DPR sudah menyatakan bahwa TWK bukan seleksi ulang, melainkan demi pembinaan dan peningkatan kapasitas pegawai.
"Presiden diam saja. Tidak meresposns apapun. Padahal ASN jadi wilayah tugas dan tanggungjawab presiden. Tidak ada satupun pernyataan berarti apalagi. Ini menunjukkan ada pembiaran," katanya.
Pukat UGM menyebut dampak penonaktifan 75 pegawai ini membuat KPK dapat makin didominasi unsur kepolisian.
"Tentu 75 pegawai itu bisa diganti. Pertanyaannya, apakah penggantian itu adil dan profesional? Diganti siapa? Jangan-jangan diganti person-person dari polisi. saat ini ada 6 jenderal di KPK dengan jabatan struktural," tuturnya.
Dampak lain, KPK kian tak independen karena pegawai kritis akan mudah disingkirkan ketika tak sejalan dengan kekuasan. "Ini kerugian bagi KPK dan bangsa Indonesia dan yang paling diuntungkan adalah koruptor," ujarnya.