Jakarta, Gatra.com – Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia mengingatkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) harus transparan dalam menyusun sejumlah aturan bidang kelautan dan perikanan turunan dari Undang-Undang (UU) No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker).
Koordinator Nasional DFW Indonesia, Moh Abdi Suhufan, pada Rabu (12/5), menyampaikan, pihaknya meminta KKP transparan karena beleid Peraturan Menteri (Permen) tersebut akan mengatur sejumlah hal teknis terkait penyelenggaran perizinan berbasis risiko, penyelenggaraan penataan ruang, serta penyelenggaran bidang kelautan dan perikanan.
Menurutnya, mengingat sejumlah isu yang akan diatur dalam ketentuan teknis tersebut akan bertabrakan dan beririsan dengan kepentingan sektor lain serta kepentingan publik secara luas, maka proses dan mekanisme yang ditempuh KKP perlu dilakukan secara transparan dan partisipatif.
"Jika tidak, substansi aturan tersebut tidak akan sejalan dengan kepentingan publik, mendapat resistensi, dan sulit untuk dilaksanakan secara optimal," ujarnya.
Abdi mengatakan bahwa sejumlah rancangan peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan yang kini sedang disusun oleh KKP sangat banyak dan perlu disusun melalui proses yang terbuka dan transparan dengan pelibatan stakeholder.
"Terdapat tidak kurang 59 rancangan peraturan Menteri KP yang saat ini disusun dan yang merupakan tindaklanjut UU No. 11 Tahun 2020 yang perlu pengawalan publik," ujarnya.
Ini merupakan konsekuensi keluarnya 3 Peraturan Pemerintah (PP) yang membutuhkan petunjuk teknis pelaksananaan. Ke-3 PP tersebut adalah No. 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Perizinan Berbasis Risiko, PP No. 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang , dan PP No. 27/2021 tentang Penyelenggaran Bidang kelautan dan Perikanan.
"Khusus PP 27 Tahun 2021, KKP mempunyai mandat untuk menyiapkan 41 peraturan Menteri, dan ini sangat banyak jumlahnya,” kata Abdi.
Ia mensinyalir bahwa publik dibuat pasif dan menunggu aturan tersebut. Padahal beberapa hal yang akan diatur memuat hal yang sangat sensitif dan membutuhkan input para pihak, termasuk publik.
Menurutnya, ketertutupan ini tidak sejalan dengan janji pemerintah untuk melibatkan stakeholder dari sejak rancangan kebijakan tersebut disusun. "Kami tidak melihat strategi KKP, apakah akan mencicil 59 Permen tersebut atau akan menyusunnya secara serentak," katanya.
DFW Indonesia mengusulkan agar perlu ada prioritas aturan yang mendesak dan secepatnya dikeluarkan, terutama yang sejalan dengan kebijakan pemerintah saat ini.
"Saat ini, prioritas KKP adalah peningkatan PNBP perikanan tangkap dan peningkatan produksi budidaya," ujar Abdi.
Sementara itu, peneliti DFW Indonesia, Arifuddin, mengatakan bahwa terdapat sejumlah Peraturan Menteri KKP yang saat ini tidak efektif berjalan dan perlu secepatnya direvisi.
"Kami melihat aturan tentang alat penangkapan ikan, andon, dan alat bantu penangkapan ikan yang ada saat ini sudah mendesak untuk diperbaiki," ujarnya.
Ia melihat banyak terdapat pelanggaran terkait aturan tersebut dan KKP kesulitan untuk menegakkan aturan berdasarkan Permen KP sebelumnya. DFW Indonesia mendorong KKP untuk mempriroritaskan penyusunan aturan tersebut secara terbuka dengan melibatkan pemerintah daerah, pelaku usaha, dan pakar.
Lebih lajut, Arif menyarankan agar KKP perlu segera menyusun rancangan peraturan Menteri tentang tata kelola awak kapal perikanan dan logbook penangkapan ikan.
"Kondisi awak kapal perikanan domestik sangat memprihatinkan, terutama terkait pengupahan dan jaminan sosial,” kata Arifuddin.
Dia juga menyampaikan bahwa sangat prihatin dengan besarnya indikasi under reported yang terjadi di perikanan tangkap. Realisasi logbook masih sangat kecil dibandingkan dengan jumlah armada kapal penangkapan ikan yang saat ini beroperasi di Indonesia.
"Perbaikan tata kelola awak kapal perikanan dan laporan hasil tangkapan melalui logbook merupakan pintu masuk strategis dalam upaya memperbaiki tata kelola perikanan Indonesia agar lebih akuntabel," katanya.