Jakarta, Gatra.com – Pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, pada akhir April silam telah resmi menyematkan label teroris kepada Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua.
Seperti diketahui, dalam pelabelan teroris tersebut, pemerintah merujuk pada UU No. 5 tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Menurut UU tersebut, yang dimaksud dengan “teroris” adalah siapapun orang yang merencanakan, menggerakan, dan mengorganisasikan terorisme. Sementara yang dimaksud dengan “terorisme” adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakaan atau kehancuran terhadap objek vital strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Namun, penyematan label teroris dengan merujuk pada definisi teroris pada UU di atas menuai berbagai kecaman dan penolakan dari sejumlah akademisi dan aktivis HAM. Mereka kompak menilai bahwa definisi “terorisme” dalam UU tersebut masih terlalu luas. Peneliti LIPI, Cahyo Pamungkas, adalah salah satu akademisi yang mengatakan demikian.
“Definisi teroris dalam UU itu bersifat general, ya. Itu, kan, cakupannya cukup luas, bahkan tindakan oknum aparat keamanan sendiri ketika dia menggunakan SD di Intan Jaya sebagai markas pasukannya juga bisa dianggap sebagai ancaman, menimbulkan suasana teror di kalangan kampung,” ujar Cahyo dalam sebuah forum diskusi daring.
“Itu adalah sebuah perbuatan menghilangkan nyawa orang, menggunakan kekerasan, dan menimbulkan suasana teror di kalangan Orang Asli Papua,” sambung Cahyo.
Cahyo juga mempertanyakan sifat label teroris ini yang tidak sesuai dengan apa yang tercantum pada penjelasan umum UU tersebut. Penjelasan umum tersebut berbunyi sebagai berikut: “Tindak Pidana Terorisme pada dasarnya bersifat transnasional dan terorganisasi karena memiliki kekhasan yang bersifat klandestin, yaitu rahasia, diam-diam, atau gerakan bawah tanah, lintas negara yang didukung oleh pendayagunaan teknologi modern di bidang komunikasi, informatika, transportasi dan persenjataan modern sehingga memerlukan kerja sama tingkat internasional untuk menanggulanginya.”
Cahyo melihat bahwa Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB)—yang diduga kuat merupakan organisasi yang dilabeli teroris oleh pemerintah—tidak memenuhi salah satu sifat tindak pidana terorisme seperti yang tercantum pada penjelasan UU tersebut, yaitu sifat transnasional.
“Tapi kalau kita melihat TPNPB itu tidak bersifat transnasional. Dia hanya melakukan the war of national liberation, hanya terjadi di Papua. Dia tidak melakukan perang di luar Papua. Dia hanya melakukan operasi militernya di tanah Papua,” sanggah Cahyo.
“Mereka semata-mata berjuang untuk mencapai kemerdekaan Papua. Mereka adalah kelompok separatis. Saya kira UU No. 5 tahun 2018 tidak tepat digunakan kepada kelompok ini,” imbuh Cahyo.
Tak hanya sampai di situ, Cahyo pun mempertanyakan penerapan Pasal 6 dalam UU tersebut dalam pelabelan teroris KKB. Pasal tersebut menyebutkan bahwa tindakan terorisme menimbulkan korban yang bersifat massal.
“Seperti diketahui, korban yang banyak itu tidak hanya karena perbuatan TPNPB. Banyak sekali juga korban jatuh itu merupakan extrajudicial killing, merupakan salah tembak, atau yang dilakukan oleh oknum TNI/Polri. Jadi korban itu berasal dari kedua belah pihak,” papar Cahyo.
Merujuk pada laporan Amnesty International, pada kurun waktu 2010-2018, terdapat 69 kasus pembunuhan di luar hukum yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan negara di Papua. Pembunuhan tersebut menelan sebanyak 95 nyawa korban dengan rincian 85 orang beretnis Papua dan 10 orang beretnis non-Papua.
Kemudian, laporan dari organisasi non-pemerintah internasional yang sama mencatat bahwa dalam kurun waktu Februari 2018-Agustus 2020, telah terjadi 47 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum yang dilakukan oleh pasukan keamanan negara yang berujung pada jatuhnya 96 korban. Dalam 15 kasus, terduga pelaku merupakan anggota kepolisian; dalam 13 kasus, terduga pelaku merupakan anggota militer; dan dalam 12 kasus, kedua anggota kepolisian dan militer diduga terlibat.
Dihubungi di kesempatan terpisah, pengamat terorisme dari Institute Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mengatakan bahwa pelabelan teroris kepada KKB di Papua ini tidak tepat sasaran. Dalam pandangannya, KKB adalah oganisasi separatis, bukan teroris.
Amatan Khairul ini selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Cahyo di atas, yaitu bahwa KKB Papua hanyalah gerakan separatis yang melakukan war of national liberation yang hanya terjadi di Papua, tidak bersifat transnasional, dan tidak melakukan perang di luar Papua.
“Tapi mengapa pemerintah memilih ganti label ke teroris bukan separatis, itu jelas sikap politik. Dan saya sendiri termasuk yang tidak sepakat [dengan pelabelan teroris kepada KKB Papua],” ujar Khairul saat dihubungi Gatra.com.
“Perubahan label itu sama sekali tak menjawab apakah atribusi yang berbeda akan diiringi dengan skema penanganan yang berbeda dan membawa konsekuensi dan implikasi yang berbeda. Yang jelas, hal itu belum tentu positif bagi keamanan dan kualitas hidup warga Papua,” imbuhnya.
Senada dengan Cahyo dan Khairul, pengacara dan aktivis HAM Papua, Veronica Koman, juga setuju bahwa definisi terorisme dalam UU No. 5 tahun 2018 masih terlalu luas. “Betul itu. Saking luas, jadinya bisa dimasuk-masukkin aja gitu, kan,” ujarnya kepada Gatra.com.
Lebih lanjut lagi, Veronica menilai bahwa pelabelan teroris terhadap KKB di Papua ini merupakan suatu langkah putus asa dari pemerintah Indonesia. “Dengan pelabelan teroris ini, kan, otomatis udah menutup pintu ke resolusi damai,” sambungnya.
Setelah pelabelan teroris ini, Veronica risau dengan potensi eskalasi pelanggaran HAM terhadap warga sipil di Papua. Selain itu, ia juga mengkhawatirkan semakin gencarnya stigma-stigma buruk yang tak hanya menyasar warga sipil di Papua, tetapi juga warga sipil Papua di luar Papua, seperti mahasiswa Papua di Bali dan wilayah Indonesia lainnya.
“Dan juga ini tuh ibaratnya ngasih label teroris akan makin memperburuk pelanggaran HAM di Papua karena ini ibaratnya aparat keamanan mendapat license to kill yang baru dan juga justifikasi untuk impunitas, gitu, atas pembunuhan di luar hukum,” kata Veronica.
Pengacara yang mulai peduli dengan isu-isu HAM di Papua sejak peristiwa Paniai di tahun 2014 tersebut juga melaporkan bahwa dengan pelabelan teroris ini, telah banyak warga sipil Papua yang merasa sakit hati. Walau pelabelan tersebut disematkan kepada KKB, warga sipil pun dikhawatirkan akan terstigmatisasi dengan label yang sama. “Kemarin dibilang monyet, sekarang dibilang teroris. Jadi ini makin mustahil lagi untuk meng-Indonesiakan Papua. Itu makin menjadi mustahil,” ujar Veronica.