Jakarta, Gatra.com – Pemerintah akhirnya tetap bisa memproduksi pupuk subsidi dengan volume sama dengan tahun lalu --- 9,041 juta ton --- meski duit yang tersedia sebenarnya cuma bisa menghasilkan pupuk subsidi sebanyak 7,2 juta ton.
Kepala Balai Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian (Balitbangtan), Kementerian Pertanian, Ladiyani Retno Widowati, cerita kalau tahun lalu, anggaran pupuk subsidi masih sekitar Rp29,76 triliun. Namun tahun ini anggaran itu turun menjadi sekitar Rp25,27 triliun.
Satu waktu, semua elemen yang terkait pupuk subsidi berkumpul di Kemenko Perekonomian. Di sana, kelompok kerja Kemenko Perekonomian terkait pupuk subsidi itu merumuskan bahwa ada tiga cara yang bisa dilakukan untuk menambah volume pupuk dengan duit yang ada.
Pertama, perusahaan pupuk musti bisa meningkatkan efisien produksi 5%. Kedua, formula pupuk direformulasi dan ketiga, harga eceran pupuk subsidi selain NPK, dinaikkan. Untuk reformulasi pupuk tadi, disepakatilah untuk memakai formula 15-10-12, tidak lagi 15-15-15.
"Perubahan formula dari 15-15-15menjadi 15-10-12 itu, dasarnya banyak lho, enggak ujug-ujug atau sengaja dibuat-buat agar bisa memenuhi permintaan volume,” kata doktor Soil Care & Management University of Gent, Belgia ini, saat berbincang dengan Gatra.com, kemarin.
Lebih jauh perempuan yang akrab disapa Neno ini menyebut, formula 15-10-12 itu sebenarnya sudah pernah diajukan pada 2013-2014 lalu, tapi tahun lalu baru diakomodir.
“Dengan formula 15-10-12, kebutuhan tanah sudah terpenuhi dan target produksi per hektarnya antara 6-7 ton atau minimal sama dengan hasil yang didapat jika petani memakai pupuk dengan formula 15-15-15," terangnya.
Kalau tetap bertahan dengan formula 15-15-15 kata Neno, volume pupuk subsidi yang bisa dihasilkan hanya sekitar 7,2 juta ton. Sementara dengan volume 9,041 juta ton saja, kebutuhan pupuk yang terpenuhi baru sekitar 40% dari 24,306 juta ton kebutuhan pupuk nasional.
Neno kemudian cerita ihwal kenapa Balitbangtan menyodorkan formula 15-10-12 itu. Lebih dari 10 tahun lalu kata Neno, Balitbangtan sudah melakukan pemetaan tanah-tanah pertanian dan tahun 2017 lalu, tanah-tanah pertanian itu disupervisi lagi, khususnya lahan sawah intensifikasi yang ada di 23 provinsi sentra.
Hasilnya, bahwa ternyata tanah-tanah sawah yang ada sudah mengalami perubahan pengkayaan akibat frekwensi pemupukan yang dilakukan sejak lama.
Oleh rutinitas masa lalu, muncul ‘tabungan’ hara pada tanah. Misalnya kadar hara Pospat (P). Dari hasil penelitian kata Neno, ada sekitar 79% lahan sawah menyimpan Pospat dalam porsi sedang hingga tinggi.
"Dugaan kami, keadaan ini tidak lepas dari sejarah pemumpukan. Apalagi di jaman Pak Harto (Presiden Soeharto), sistim pemupukan dilakukan dengan single rekomendasi," terangnya.
Begitu juga dengan Kalium (K) yang mengalami perubahan peningkatan hampir 83%. Yang kadarnya sedang hanya kurang dari 17%. "Itupun pada tanah yang irigasinya kurang, sawah tadah hujan atau daerah rimut. Ini lantaran tidak dibudidayakan secara intensif," ujarnya.
Dari semua hasil penelitian itulah kata Neno makanya pihaknya bisa menyimpulkan bahwa kalau pupuk ditabur lagi dengan jumlah yang tinggi, tanah akan jenuh dan akan terus terjadi pemborosan. Sudahlah begitu, lama-lama lingkungan juga akan rusak oleh dampak kimia pada pupuk itu.
Biar ada panduan bagi pengambil kebijakan, buku acuan alokasi pupuk per kecamatan pun dibikin. Kalau petani dan penyuluh ingin mendapatkan rekomendasi spesifik lokasi untuk tanaman padi, Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS) dan Smart Soil Sensor Kit sudah ada, dalam 15 menit, petani sudah tahu kadar hara tanah sawahnya.
"Untuk rekomendasi pemupukan di lahan spesifik semacam itu, kita juga sudah menyiapkan tabel acuan pemupukan. Petani langsung bisa ngecek di tabel itu," terangnya.
Lantas seperti apa hasil dari formula 15-10-12 tadi? "Kami sudah melakukan ujicoba di beberapa lokasi, hasilnya malah lebih tinggi dari formula 15-15-15. Saya sempat kaget juga," katanya.
Abdul Aziz