Jakarta, Gatra.com – Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Kekerasan Seksual (KOMPAKS), menilai proses Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) terhadap pegawai Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) berjalan tidak baik alias buruk.
Selain itu, kata Anggota koalisi dari Aliansi Gerakan Perempuan Anti-Kekerasan (GERAK Perempuan), Aprillia L. Tengker, TWK juga tak relevan dengan keperluan peralihan status dari pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) sehingga hasilnya dipersoalkan publik.
"Melakukan tes yang seperti ini adalah tindakan yang sebenarnya tidak sesuai dengan apa ya, harapan masyarakat luas ya,” ujarnya kepada Gatra.com via sambungan telepon pada Jumat sore (7/5).
KOMPAKS juga menyatakan bahwa langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN, telah melemahkan KPK.
Bahkan, lanjut Aprillia, nantinya para pegawai KPK kemungkinan tak lagi bisa berkumpul, berserikat, berpendapat, dan mengkritik pimpinan dikarenakan ASN memiliki aturan tertentu.
"[ASN] punya aturan sendiri yang bisa dibilang itu birokratis banget. Bahwa misalnya ada beberapa aturan yang membuat mereka enggak bisa sebebas orang di luar ASN," katanya.
Selain tidak bisa mengkritik atasan atau pimpinan, ketentuan ASN juga membuat pegawai KPK tidak bisa membentuk wadah. Pasalnya, ASN mempunyai struktur sendiri yang membatasi.
Menurutnya, itu akan melemahkan KPK karena nantinya tidak mempunyai wadah berkumpul untuk menyalurkan pandangan dan kritik terhadap pimpinan. Padahal, ini sangat penting untuk mengawal pemberantasan korupsi.
GERAK Perempuan dan KOMPAKS berharap agar pelaksanaan TWK tersebut dievaluasi dan kalau bisa dibuka prosesnya secara transparan, tetapi tanpa menyebutkan nama-nama pegawai yang mengalaminya.
Menurut Aprillia, jika dari evaluasi tersebut ditemukan adanya pelanggaran, pihaknya meminta agar ditindak tegas. Seperti adanya dugaan orang-orang yang mewawancarai pegawai KPK dengan pertanyaan seksisme dan diskriminatif.
“Karena balik lagi ya, misalnya kalau ada kawan-kawan perempuan yang ditanyakan hal seperti itu, jadi kan dia [pewawancara] tidak menghormati si kawan perempuan itu. Kan dengan melakukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat pribadi gitu, itu sudah melecehkan sebenernya,” kata Aprillia.
Orang-orang seperti itu tidak boleh dibiarkan. Tes dengan cara itu tentunya akan berakibat buruk dalam melahirkan ASN. "Kita berharap pemerintah bisa melihat ini sebagai suara dari publik juga ya bahwa keresahan publik ya seharusnya diperhatikan, jangan didiamkan," ujar Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta itu.