Jakarta, Gatra.com – Pengacara HAM Papua, Gustaf Kawer, menyatakan dengan tegas bahwa penetapan status Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua sebagai organisasi teroris adalah sebuah langkah mundur dari pemerintah Indonesia.
“Kenapa saya katakan langkah mundur? Pola-pola pendekatan seperti itu mengulangi pola-pola kekerasan yang lalu. Pemerintah tidak menempuh cara-cara dialog, ya,” ujar Gustaf dalam webinar yang diselenggarakan oleh LP3ES Jakarta pada Jumat sore, (7/5).
“Nah, yang terjadi, penetapan status KKB [sebagai organisasi teroris] ini saya pikir pemerintah terkesan menutupi pelanggaran-pelanggaran HAM [yang disinyalir dilakukan oleh aparat negara] yang terjadi di Papua,” sambung Gustaf.
Gustaf memaparkan contoh temuan dari investigasi yang dilakukan oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dipimpin oleh Menkopolhukan, Mahfud MD, untuk peristiwa kekerasan dan penembakan 17-19 September 2020 di Kabupaten Intan Jaya, Papua. Salah satu hasil temuan tersebut mengungkapkan dugaan keterlibatan oknum aparat dalam peristiwa terbunuhnya Pendeta Yeremia Zanambani.
Contoh lainnya adalah peristiwa pembakaran rumah dinas kesehatan di Distrik Hitadipa, Intan Jaya, Papua pada 16 September 2020. Dari laporan investigasi Komnas HAM, sejumlah delapan prajurit TNI ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembakaran tersebut.
Tak hanya itu, apabila ditarik lebih jauh ke belakang, Gustaf mengklaim kalau kasus pelanggaran HAM terhadap rakyat Papua di daerah pesisir mencapai sejumlah 749 kasus di periode sejak integritas Papua ke dalam negara Indonesia sampai masa Reformasi (1969-1998). Angka kasus tersebut belum termasuk jumlah korbannya.
Salah satu kasusnya adalah Operasi Tumpas pada kurun waktu 1971-1989 di Biak Barat dan Biak Utara. Merujuk pada laporan International Center for Transitional Justice (ICTJ) di tahun 2012, operasi tersebut dilakukan untuk menumpas Organisasi Papua Merdeka (OPM). ICTJ menyebut bahwa seorang saksi melaporkan terjadinya penembakan, pembunuhan, penyiksaan, penganiayaan, perkosaan, dan penculikan yang dilakukan oleh pihak tentara terhadap anggota OPM.
Sementara itu, merujuk pada Amnesty Internasional, terdapat 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh petugas keamanan negara di Papua selama kurun waktu Januari 2010-Februari 2018. Sebanyak 41 kasus di antaranya terjadi dalam peristiwa-peristiwa non-politik yang tidak berkaitan sama sekali dengan isu kemerdekaan atau referendum Papua dengan korban jiwa sebanyak 56 orang.
Sementara itu, 28 kasus sisanya merupakan dugaan pembunuhan di luar hukum yang dilakukan oleh aparat negara terkait dengan kegiatan politik, termasuk isu kemerdekaan atau referendum bagi Papua. Dari sekumpulan kasus ini, 39 jiwa melayang.
“Saya melihat bahwa desain pemerintah itu terlalu cepat menetapkan status KKB [sebagai organisasi teroris], sedangkan kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat TNI-Polri itu tidak terungkap,” ujar Gustaf.
“Nah kalau kita lihat kasus yang terjadi kemarin ini setelah penetapan status KKB kemudian timbul reaksi di masyarakat akan ada operasi militer di puncak ini. Sudah banyak orang mengungsi dan aparat sudah banyak di sana. Kita belum punya data yang valid tapi dari informasi dari beberapa titik baik di Sentani dan Timika itu mobilisasi pasukan begitu besar,” pungkasnya.