Jakarta, Gatra.com - SETARA Institute menyebutkan bahwa SKB yang dipergunakan untuk melakukan penyegelan tempat ibadah Jemaat Ahmadiyah di Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut tidak mengandung ketentuan yang secara hukum dapat dijadikan dasar tindakan.
Sebelumnya, Bupati Garut mengeluarkan Surat Edaran Pelarangan Aktivitas Penganut Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Penghentian Kegiatan Pembangunan Tempat Ibadah Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut pada Kamis (06/05).
Berdasarkan keterangan tertulis dari SETARA Institute, penyegelan ini dilandasi oleh SKB dan Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12 Tahun 2011.
Direktur Riset SETARA Institute Haili Hasan menyebutkan bahwa SKB tidak mengatur peribadatan Ahmdiyah. “SKB itu dia tidak mengatur sama sekali mengenai pembatasan hak ahmadiyah untuk beribadah,” ucap Hasan melalui sambungan telepon pada Jumat (07/05).
Hasan menjelaskan bahwa 6 diktum di dalam SKB secara umum dapat dikelompokkan menjadi 3 hal.
Pertama larangan Ahmadiyah untuk menyebarkan hal-hal yang bertentangan dengan pokok-pokok ajaran islam dan terdapat ketentuan bahwa itu dilanggar ada sanksi terhadap mereka.
Kedua larangan terhadap masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum dalam merespon ahmadiyah.
Ketiga adalah tindakan aparatur negara untuk secara presisi, secara tepat menangani dua pihak sekaligus pertama Ahmadiyah yang kedua pihak masyarakat.
Hasan menyebutkan bahwa rangkuman Diktum tersebut tidak membahas soal penyegelan masjid.
“Jadi sama sekali tidak ada hal kaitan dengan satu pelarangan eksistensi ahmadiyah secara umum apalagi secara spesifik bicara soal penyegelan. Itu sama sekali tidak ada dasar hukum dalam melakukan tindakan itu,” ujar Hasan.
SETARA Institue mendesak Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk meninjau SKB Ahmadiyah yang dinilai memiliki muatan secara umum diskriminatif dan memantik pelanggaran atas hak-hak bahkan eksekusi Ahmadiyah.