Jakarta, Gatra.com – Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menyampaikan kritik tajam atas penolakan judicial review (JR) terhadap Undang-Undang No.19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini.
Ia mengatakan bahwa KPK memang pada dasarnya sudah lemah. Dengan putusan MK ini, ia khawatir lembaga anti-rasuah independen tersebut akan semakin dikebiri kekuatannya.
“KPK Indonesia itu secara teoritik sebenarnya sudah lemah sedari awal dan lama-kelamaan kian diperlemah, bahkan sudah menjadi maling, begitu ya,” ujar Feri dalam diskusi virtual yang digelar Kamis sore (6/5).
“Fakta jadi maling itu sudah terbukti misalnya ada pegawai KPK yang mencuri barang bukti, ada penyidik KPK yang memeras pihak yang berperkara. Jadi sudah ada fakta-faktanya,” beber Feri.
Pernyataan Feri soal KPK yang kian melemah dan menjadi “maling’ bukan tanpa alasan. Rujukannya adalah teori new separation of powers dari pakar hukum Amerika Serikat, Bruce Ackerman. Ia menyebut bahwa teori tersebut mengemukakan soal ciri-ciri lembaga independen atau berintegritas.
Menurut teori tersebut, ciri pertama dari lembaga yang berintegritas adalah adanya konstitusi. Dengan adanya landasan konstitusi, suatu lembaga independen tidak boleh diubah melalui proses legislasi biasa. Dalam konteks KPK, dengan dilakukannya proses legislasi biasa, UU tentang lembaga independen pemberantas korupsi yang didirikan pada tahun 2002 tersebut berpotensi diubah lagi dan lagi.
Lalu ciri lembaga yang berintegritas berikutnya adalah soal independensi komisioner dan pegawainya. Menurut Feri, tercatat bahwa sejak tahun 2019, nilai-nilai independensi komisioner dan pegawai KPK telah digerus habis. Dengan demikian, secara teoretis, gagasan lembaga independen yang tersemat pada KPK telah hancur.
Itulah mengapa kehancuran nilai-nilai mulia KPK ini memotivasi Feri dan kawan-kawan akademisi lainnya, termasuk ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, untuk menginisiasi permohonan uji formil dan materil ke MK.
Meski demikian, Feri sudah melihat pesimisme sejak awal. ”Kita sebenarnya secara logika matematika sudah yakin perhitungan ini berat dimenangkan. Kenapa? Ya, tiga hakim konstitusi dari presiden, tiga dari DPR. Presiden dan DPR yang buat UU. Udah enam gitu, ya. Udah mayoritas,” tutur Feri.
Hasilnya memang sesuai dengan yang diprediksi oleh Feri. Terdapat lima jenis putusan pengujian dan tujuh perkara. Jenis yang pertama adalah permohonan yang dinyatakan NO (niet ontvankelijke verklaard) atau tidak dapat diterima, dalam hal ini sebagian dan ditolak seluruhnya. Perkara yang tergolong pada permohonan jenis ini adalah perkara Nomor 59/PUU-XVII/2019, 71/PUU-XVII/2019, dan 77/PUU-XVII/2019.
Jenis yang kedua adalah pengujian formil dan materil yang ditolak seluruhnya. Perkaranya bernomor 62/PUU-XVII/2019. Perkara ini ditolak karena majelis hakim menilai bahwa substansi yang diajukan dalam perkara ini akan diajukan pada perkara Nomor 79/PUU-XVII/2019.
Dalam pandangan Feri, perkara dengan nomor registrasi lebih baru yang dijadikan patokan untuk perkara dengan nomor registrasi lebih awal memang aneh dan tidak adil.
Kemudian, jenis yang ketiga adalah pengujian formil yang ditolak seluruhnya dan pengujian materil diterima seluruhnya dengan nomor perkara 70/PUU-XVII/2019. Jenis keempat adalah pengujian materil yang ditolak seluruhnya dengan nomor pekara 73/PUU-XVII/2019. Lalu yang terakhir adalah jenis pengujian formil yang ditolak seluruhnya dengan nomor perkara 79/PUU-XVII/2019.
“Jadi, MK ini menurut saya, di balik sosok negarawan terpilih itu, ikut terlibat dengan mengupayakan KPK menjadi maling baru di negara korup ini. Jadi kalau ada alasan masih ada harapan di putusan MK, saya bilang itu non-sense. Tidak ada satu harapan pun untuk perbaikan KPK melalui putusan MK. Tapi harapan itu ada di publik sekarang,” kata Feri.