Jakarta, Gatra.com – Hermawanto, Advokat untuk Keadilan dan Kemanusiaan, berpendapat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Perubahan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) membuatnya berkesimpulan bahwa hakim konstitusi berada pada stadium "kesadaran semu" atau false consciousness.
"Sebagai Hakim MK gagal memahami tugas konstitusionalnya sebagaimana sila keempat Pancasila 'Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan'," ujarnya.
Menurutnya, sebagai penjaga konstitusi, seharunya MK meletakkan diri pada nilai moral kebijaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak sekadar tunduk pada norma perundangan yang diciptakan legislator kadang penuh intrik dan manipulatif.
"Sehingga putusan MK sepertinya meletakkan diri sebagai anak buah kekuasaan, yang manut pada 'sendiko dawuh sang paduka'," ujarnya.
Sebelumnya, MK menolak uji materi UU KPK. Majelis hakim menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya dalam perkara dengan nomor 79/PUU/-XVII/2019 tersebut.
Majelis menyatakan bahwa dalil pemohon telah terjadi penyelewengan hukum karena revisi UU KPK tidak masuk dalam prolegnas, tidak beralasan. Menurut majelis, revisi UU KPK telah sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku.
"RUU tersebut telah terdaftar dalam Prolegnas [Program Legislasi Nasioal] dan berulang kali dalam Prolegnas Prioritas," ujar Arief Hidayat, anggota majelis hakim MK.
Namun demikian, majelis tidak bulat dalam memutus perkara ini. Anggota majelis hakim Wahiduddin Adams berbeda pendapat (dissenting opinion). Menurutnya, beberapa perubahan dalam UU KPK telah merombak postur, strukur, arsitektur, dan fungsi KPK secara fundamental.
Selain itu, waktu penyusunan daftar inventarisasi masalah (DIM) tidak bisa diterima akal sehat. Menurutnya, suatu perubahan yang bagitu banyak dan bersifat fundamental terhadap lembaga sepenting KPK siapkan dalam bentuk DIM kurang dari 24 jam.
"Padahal jangka waktu yang dimiliki presiden untuk melaksanakan itu adalah paling lama 60 hari," kata Wahiduddin.