Medan, Gatra.com – Pemilihan umum (pemilu) merupakan sarana kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin, baik di eksekutif maupun di legislatif. Anggota Bawaslu Sumatera Utara (Sumut), Herdi Munte, menyampaikan, sebagai pengejewantahan dari Pancasila dan konstitusi maka negara wajib menjamin pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Hak asasi manusia (HAM) merupakan bagian dari jaminan itu, sehingga terkait dengan pelaksanaan pemilu, kata Herdi pada Rabu (5/5), setiap warga negara harus dijamin pula hak politiknya, yakni hak memilih (right to be voter) dan hak dipilih (right to be candidate) termasuklah untuk pemilu tahun 2024.
Pemilu tahun 2024 tidak lama lagi akan digelar. Pemilu ini pun menjadi sebuah sejarah baru bagi ketatanegaraan Indonesia, sebab akan dilaksanakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/ Kota dan pemilihan Gubernur dan Bupati/ Wali kota pada tahun yang sama.
Menurutnya, meskipun pilihan teknis pelaksanaan pemilu nasional (Pileg dan Pilpres) maupun pemilu lokal (Pilgub/Pilbup/Pilwako) pada bulan yang berbeda, namun tetap pada desain tahun yang sama pada 2024. Pertanyaan mendasar apakah kita sudah siap? Bagaimana hak memilih dapat terjamin sesuai amanat konstitusi?
Melihat pengalaman pelaksanaan pemilu sebelumnya terjadi masalah terkait hak pilih. Secara khusus jaminan hak memilih (right to be voters) belum tuntas. Hak memilih ini kerap menjadi dalil (di hilir tahapan) yang diperkarakan di Mahkamah Konstitusi (MK). Bagaimana tidak, keakuratan daftar pemilih tetap (DPT) kerap menjadi permasalahan sebagaimana diungkapkan Fadli Ramadhanil; dkk, 2019.
Meskipun Indonesia sudah berkali-kali menyelenggarakan pemilu, masalah daftar pemilih menjadi problem yang berulang. Sebagai contoh, pada pemilu 2009 DPR sampai membentuk panitia khusus (pansus) untuk menyelidiki kasus banyaknya warga negara yang mempunyai hak pilih tetapi namanya tidak masuk dalam daftar pemilih.
Ia melanjutkan, begitu pula pada pemilu 2014, daftar pemilih menjadi isu sentral dalam sidang gugatan hasil pemilu di MK. Sedangkan pada pemilu 2019 pun mencapai klimaksnya hingga penyelenggara pemilu (KPU maupun Bawaslu) harus 3 (tiga) kali memperbaiki DPT menjelang hari pemungutan suara.
DPTHP-1 menetapkan jumlah DPT 187.109.973 pemilih, DPTHP-2 menetapkan jumlah DPT 192.828.520 pemilih, dan terakhir ditetapkan hasil perbaikan ketiga DPTHP-3 jumlah pemilih yang ditetapkan sebanyak 192.866.254 pemilih. DPT yang semestinya merupakan suatu produk final namun dalam realitanya masih berubah-ubah dan menimbulkan ketidakpastian.
Problematika ini tidak terlepas dari teknis pemuktahiran data pemilih yang mengalami masalah. Sering ditemukan DPT ganda, pemilih baru yang belum terdaftar dan orang sudah meninggal terdaftar DPT dan lain sebagainya.
Apabila penyelenggara pemilu kurang teliti, kata dia, hal tersebut sering disalahgunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab pada saat pencoblosan yang dapat berakibat terhadap hasil perolehan suara.
Hak memilih sangat bertaut-erat dengan sistem pendataan (voter data collection) dan pendaftaran pemilih (voter registration system). Isu utamanya ada pada keakuratan, kualitas dan validitas data serta daftar pemilih. Dari aspek data maka pangkal persoalan diawali dengan proses dan hasil perekaman KTP-el yang belum tuntas.
Kemendagri membantah pernyataan KPU yang menyebutkan bahwa masyarakat tak ber-KTP-el mencapai 20,7 juta warga sedangkan menurut Kemendagri menyebut 2,7 juta masyarakat Indonesia belum memiliki KTP-el sebagaimana dilansir Bisnis pada (3/11/2020).
Dari perdebatan tersebut terlihat belum ada kesepahaman data kependudukan di antara lembaga yang bertanggungjawab atas data kependudukan (Kemendagri) dengan data kepemiluan (KPU).
Perekaman KTP-el menjadi polemik yang dapat menyebabkan tercederai hak pilih WNI. Perekaman belum merata, misalnya terhadap penduduk di daerah terpencil, penyandang disabilitas dan penduduk keadaan tertentu lainnya yang secara de facto merupakan WNI yang berpotensi punya hak memilih.
Berdasarkan Pasal 198 UU.7/2017, dalam menentukan kriteria WNI yang punya hak memilih adalah: (1) WNI yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin (2) WNI harus didaftar sebanyak 1 (satu) kali dalam daftar pemilih (3) WNI yang telah dicabut hak politiknya oleh pengadilan tidak mempunyai hak memilih dan juga pasal 200 menentukan bahwa anggota TNI dan POLRI tidak menggunakan haknya dalam pemilu.
Problem dilematis tersebut bila tidak diselesaikan secara tuntas dan sistematis maka pemilu dari masa ke masa akan sama saja masalahnya. Isu penting yang harus diperhatikan bersama adalah bagaimana hak memilih (data dan daftar pemilih) memiliki akurasi, kualitas, validitas dan data/daftar pemilih up-date.
Perlu dingat bahwa ketidaktercatatan kependudukan secara administratif dapat menghilangkan kesempatan atau hak pilih untuk pemilu yang akan terabaikan. Dengan kata lain, problem administratif akan dapat menghilangkan hak politik WNI.
Problematika yang prinsipil ini harus dituntaskan oleh pemangku tanggung jawab (responsibility holder) untuk menghindari kerugian konstitusional dalam pelaksanaan pemilu dan demi menjaga kedaulatan suara rakyat.
Permasalahan ini perlu mendapatkan advokasi dari semua responsibility holder, tidak hanya pemerintahan dan penyelenggara pemilu, namun terutama partai politik (parpol) yang akan menjadi kontestan pemilu, urgen melakukan advokasi hak memilih pemilu 2024.
Upaya sistematis perlu untuk memastikan atau mendorong pendataan dan pendaftaran pemilih pemilu, membuka partisipasi masyarakat, pendataan dan pendaftaran pemilih yang jujur dan transparan.
Diharapkan, mulai dari proses perekaman data, pencermatan, pemuktahiran, partisipasi aktif, mendorong pemerintahan atau penyelenggara pemilu untuk bekerja profesional, akuntabel, dan transparan. Advokasi ini dalam rangka menjamin hak memilih yang berbasiskan data dan daftar pemilih yang akuntabel dan tentunya terpercaya.
Di samping pengawasan publik, tentu fungsi pengawasan oleh lembaga Bawaslu sangat strategis. Pendek kata, diperlukan upaya yang terstruktur, sistematis dan masif sejak dini. Jangan sampai terjadi lagi jelang pemungutan suara baru disadari dan bereaksi.
"Semoga data dan daftar pemilih pemilu 2024 yang berkualitas dan dipercaya dapat diwujudnyatakan," katanya.