Jakarta, Gatra.com – Peneliti Masyarakat dan Budaya dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Obing Katubi, menyatakan bahwa revitalisasi bahasa adalah sebuah gerakan sosial, budaya, dan politik. Gerakan ini adalah respons atas potensi punahnya ratusan bahasa daerah Indonesia, terutama bahasa-bahasa daerah di wilayah timur.
Obing mengungkapkan alasan mengapa gerakan ini wajib melibatkan elemen sosial, budaya, dan politik. Menurutnya, kalau hanya didorong oleh kelompok akademisi, revitalisasi bahasa daerah tidak akan mampu berjalan.
“Jadi seharusnya revitalisasi itu menjadi gerakan yang sifatnya dari bawah. Kemudian para akademisi mencoba membantu gerakannya melalui kepakarannya masing-masing. Jika itu bisa berjalan, maka revitalisasi itu akan menjadi sebuah gerakan yang masif, baik ditinjau dari segi sosial, budaya, maupun politik,” ujar Obing dalam webinar "Talk to Scientists" yang digelar oleh LIPI secara daring pada Selasa (4/5).
Obing mengingatkan bahwa saat ini banyak pengelolaan kebijakan yang didesentralisasikan, salah satunya adalah tentang pengelolaan bahasa dan budaya yang menjadi wewenang daerah. Akan tetapi, menurutnya, terkadang daerah pun tidak memahami hal itu sehingga mereka sering kali tidak peduli atau bahkan tidak membuat penganggaran untuk pengelolaan-pengelolaan semacam ini.
Kalau gerakan revitalisasi berbasis sosial, budaya, dan politik telah terlaksana, langkah selanjutnya yang harus diambil adalah melakukan perencanaan bahasa berbasis kelompok penutur atau komunitas. Prinsipnya adalah tidak ada satu pun revitalisasi yang cocok untuk semua bahasa yang terancam punah.
“Jadi misalnya bahasa yang terancam punah direvitalisasi menggunakan model X. Model X ini belum tentu cocok untuk digunakan di komunitas bahasa Y. Jadi harus dimodifikasi karena karakterisitik masyarakat dan ekologi kebahasaannya pasti berbeda,” ujar Obing.
Revitalisasi bahasa juga memerlukan pandangan jangka panjang. Maksudnya, revitalisasi itu tidak bisa berjalan dan diketahui hasilnya satu-dua hari atau satu-dua tahun saja. Obing menyebut gerakan ini bisa memakan waktu belasan tahun lamanya.
Dengan demikian, klarifikasi ideologi dan komitmen dari kelompok penutur bahasa tersebut perlu diperjelas dan dipertegas. Yang dimaksud dengan klarifikasi ideologi adalah bagaimana kelompok penutur bahasa tersebut memandang bahasa mereka sendiri.
Lagi pula, menurut Obing, tidak ada bahasa yang tidak dapat diapa-apakan. “Selalu ada sesuatu yang bisa dilakukan untuk bahasa yang berkategori terancam punah,” ujarnya.
Banyak pihak yang beranggapan bahwa revitalisasi bahasa bisa dimasukkan ke dalam muatan lokal. Obing kurang setuju dengan ide ini. Menurutnya, muatan lokal belum tentu cocok dalam ekologi kebahasaan di wilayah timur Indonesia yang heterogen.
“Di wilayah Indonesia timur itu kadang kala satu wilayah [terdapat] berbagai bahasa daerah atau etnik yang digunakan di situ. Kalau mau dijadikan muatan lokal, bahasa mana yang mau dijadikan muatan lokal? Bahasa yang paling besar di wilayah itu tidak bisa dijadikan muatan lokal karena itu namanya dominasi atau hegemoni kebudayaan atas kebudayaan yang kita anggap minoritas,” kata Obing.
Muatan lokal yang berpotensi membuat suatu bahasa daerah lebih dominan dibanding bahasa daerah lainnya, juga dinilai menyalahi hak asasi bahasa yang didengungkan oleh para pegiat bahasa selama ini. Oleh karena itu, Obing mengusulkan sebuah rancangan program revitalisasi bahasa berbasis keluarga di rumah.
“Ini yang barang kali lebih masuk akal. Artinya adalah kita bisa meregenerasi penggunaan bahasa itu melalui rumah tangga. Itu mungkin bisa lebih digunakan untuk wilayah-wilayah yang sangat heterogen seperti di wilayah-wilayah di Indonesia timur, sehingga transmisi bahasa itu bisa berjalan kembali melalui revitalisasi berbasis keluarga di rumah,” ungkap Obing.
Selain itu, seiring dengan perkembangan zaman, teknologi digital pun bisa dimanfaatkan dalam program revitalisasi bahasa sebagai upaya penyelamatan bahasa-bahasa yang terancam punah. Yang bisa dilakukan, pertama-tama adalah melakukan dokumentasi bahasa daerah secara modern dengan teknologi digital tersebut.
Pemanfaatan teknologi digital bisa dicapai dengan menggunakan video streaming, smartphone, mesin terjemahan, kamus bicara digital, dan media sosial dalam rangka mendokumentasikan ataupun bahkan menyebarkan sekaligus melestarikan bahasa-bahasa daerah yang hampir punah.
“Sekarang banyak sekali anak-anak di Indonesia timur memanfaatkan media sosial untuk membuat grup komunitas bahasa mereka sendiri. Kemudian mereka mendiskusikan berbagai macam hal dengan menggunakan bahasa daerah mereka," katanya.
Menurutnya, itu adalah salah satu wahana yang bisa digunakan untuk menginspirasi banyak orang menggunakan bahasa daerah tanpa ketinggalan dengan memanfaatkan teknologi digital yang kekinian.