Jakarta, Gatra.com - Lelaki 55 tahun ini menatap jauh, menembus batas tirai yang menyekat ruang kerjanya. Entah sudah berapa lama dia bergumul dengan kertas yang menumpuk di meja kerja itu.
Kertas yang di antaranya bertuliskan; Andai tak ada kelapa sawit. "Sering saya berpikir begitu. Akan seperti apa bumi ini jika sawit tidak ada," suara Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) ini bergetar.
PASPI kata Ketua Tim Lintas Kementerian dan Asosiasi Penyusunan Roadmap Industri Sawit Indonesia sudah punya hitungan, kalau kelapa sawit tak ada, lahan yang dibutuhkan oleh tanaman Soybean, Rapeseed dan Sunflower untuk memenuhi kebutuhan dunia musti bertambah sekitar 167 juta hektar lagi.
"Coba bayangkan, berapa luas tutupan hutan yang akan hilang demi memenuhi kebutuhan itu," katanya saat berbincang dengan Gatra.com, kemarin.
Tapi lantaran sawit ada, Tungkot memastikan bahwa tutupan hutan, akan bertahan. "Caranya tentu dengan menggenjot produksi sawit menjadi dua kali lipat dari yang ada sekarang. Dan itu sangat bisa dilakukan lantaran sebagai produsen terbesar minyak sawit dunia, Indonesia sudah dan sedang menerapkan teknologi dan prinsip-prinsip sawit berkelanjutan itu," ujarnya.
Asisten Khusus Menteri Pertanian Bidang Pembangunan Agribisnis 2000-2004 pun kemudian menceritakan geliat sawit sejak tahun 1980 silam.
Waktu itu, Soybean oil masih merajai pasar minyak nabati dunia dengan dominasi 51%, minyak sawit di angka 28%, Rapeseed Oil 13% dan Bunga Matahari 8%.
Namun 20 tahun kemudian, minyak sawit telah menyalip dominasi Soybean Oil itu. Perlahan, hingga di 2020, sawit pun telah bisa membukukan dominasi di angka 44%, Soybean 31%, Rapeseed 14% dan Bunga Matahari 11%.
Baca juga: Saat Sawit Jadi Penyelamat Hutan
Ini berarti, tanda-tanda untuk tidak lagi memperluas lahan kebun minyak nabati, sudah kelihatan. Indonesia tampil sebagai negara yang paling berperan menghambat laju deforestasi itu. Ini kelihatan dari pergerakan produksi sawitnya.
Pada 1980, Malaysia masih merajai pasar minyak sawit dunia dengan angka 55%. Waktu itu Indonesia masih di angka 15% dan yang lainnya 30%.
Namun di 2020, Indonesia sudah tampil menjadi raja minyak sawit dunia dengan angka 58%, Malaysia 26% dan yang lainnya 16%.
Itu terjadi lantaran seiring waktu kebun kelapa sawit Indonesia terus bertambah hingga di tahun 2020, telah mencapai 16,38 juta hektar. Dari luasan itu, 6,8 juta hektar milik masyarakat.
Pergerakan luasan tadi diiringi pula oleh penerapan teknologi yang semakin mumpuni. Itulah makanya kalau di 2010 ekspor Indonesia masih didominasi oleh Crude Palm Oil (CPO) 75%, Refine Plm Oil (RPO)+ Refine Palm Kernel Oil (RPKO) 38%, Oleokimia dan biodisel 5%.
Namun di 2020, komposisi itu berubah. Ekspor RPO+RPKO sudah di angka 67%, CPO 22% dan Oleokimia + Biodiesel 11%.
Lebih jauh Tungkot cerita, dari 2012, sawit telah menjadi penyelamat ekspor non migas Indonesia. Disebut penyelamat lantaran kalau sempatlah tak ada sawit, angka ekspor non migas Indonesia akan minus. Mulai dari minus USD2,5 miliar, malah sampai minus USD17,4 miliar.
"Lantaran ditopang oleh sawit lah kemudian ekspor non migas itu berubah menjadi positif, antara USD3,9 miliar hingga USD20,4 miliar. Itu terjadi hingga 2019," ujarnya.
Nah, di 2020, ekspor non migas tanpa sawit hanya USD4,7 miliar, tapi lagi-lagi, lantaran ditopang oleh sawit, ekspor non migas itu membengkak menjadi USD27,7 miliar.
Tadi Tungkot bilang bahwa ekspor sawit sudah merembet kemana-mana, termasuk juga Biodiesel dan Oleokimia.
Ini, akhirnya berdampak pada penggunaan minyak fosil yang berangsur melandai. Di Indonesia sendiri, kalau di 2010 impor minyak fosil masih lebih dari 35 juta kiloliter, di 2020 sudah jauh berkurang; sekitar 5 juta kiloliter.
Mandatori B30 yang digagas oleh Presiden Jokowi telah membikin membikin negara lebih mudah mengatur pasar dagang dalam dan luar negeri dan ini berdampak pula pada stabilitas harga beli Tandan Buah Segar (TBS) milik petani.
Sudahlah membikin petani sumringah, hingga 2020, B30 tadi ternyata telah pula menghemat Green House Gas (GHG) hingga 22,3 juta ton CO2.
Asal tahu saja, di negara tujuan, sawit telah menciptakan lapangan kerja. Kalau ditotal, mencapai 2,73 juta orang.
India mendominasi penciptaan lapangan kerja itu; 42%. Lalu China 29%, Uni Eropa 3%, Amerika 2% Pakistan dan Bangladesh 5%, Afrika 7% dan lainnya 13%.
Oleh hadirnya lapangan kerja tadi, negara tujuan ekspor juga menikmati duit sawit itu yang kalau ditotal mencapai USD38 miliar.
Lagi-lagi, India menikmati 16,7%, China 17%, Uni Erpa 18,7%, Pakistan dan Bangladesh 10,1%, Amerika 7,3%, Afrika 13,5% dan lainnya 17%. So...?
Abdul Aziz