Jakarta, Gatra.com - Juru bicara Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA), Arkilaus Baho, mengatakan pelabelan teroris kepada Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua dari pemerintah justru akan menuai masalah dan menjadi bumerang di kemudian hari.
Dengan pelabelan tersebut, otomatis penyelesaian masalah akan ditempuh melalui pendekatan bersenjata. Arkilaus menilai pendekatan itu justru tak menyelesaikan masalah. Siklus kekerasan, kata dia, akan bertambah, meluas, akibat ketidakadilan yang dialami, ditambah kekerasan verbal melalui pelabelan dan kekerasan fisik secara nyata atas nama negara.
"Pelabelan gerakan yang berseberangan dengan pemerintah bukan solusi. Malah jadi bumerang dikemudian hari," kata Arkilaus melalui keterangan resminya, Sabtu (1/5).
Arkilaus juga memandang, perumusan penyelesaian masalah KKB itu seolah-olah tak melibatkan pemerintah daerah (pemda). Ia melihat tidak selarasnya jalinan kerja sama pemda dan pemerintah pusat. Ia bahkan menduga, implementasi otonomi khusus yang membatasi kewenangan pemda pada urusan pertahanan dan keamanan, membuat sinkronisasi kebijakan dari pusat hingga daerah tidak harmonis.
"Pemerintah saja tidak punya persepsi yang sama soal kebijakan yang diputuskan itu. Bagaimana bisa mengatasi masalah teror? Sejarah membuktikan bahwa pelabelan hanya melahirkan memorian passionis tiada henti," ujar dia.
Maksudnya, lanjut dia, ingatan masa lalu, tragedi penembakan yang menyebabkan seseorang tewas, huru-hara yang menyebabkan banyak orang mengungsi, terlantar, rumah yang dibakar, justru menjadi ingatan tersendiri sehingga melahirkan bibit-bibit KKB yang baru.
Arkilaus menyebut Papua butuh Indonesia baru tanpa moncong senjata. Indonesia baru yang mampu menyelesaikan masalah dalam negeri dengan pendekatan kebangsaan dan kemanusiaan.
PRIMA, menurut Arkilaus, sudah memperjuangkan solusi sesuai nilai-nilai Pancasila. Dalam bentuk kelembagaan politik baru, yang disebut Dewan Rakyat Papua (DRP), agar tiap marga menyalurkan aspirasi politik sekaligus menegakkan martabat politik masyarakat Papua.
"Mengingat basis sosial masyarakat Papua yaitu marga dan suku, DRP akan berbasis pada kelompok sosial di Papua yang selama ini terkecualikan, seperti suku arau marga, perempuan dan agama," pungkasnya.