Home Gaya Hidup Resensi Film Voyagers: Evolusi Anarkisme Manusia

Resensi Film Voyagers: Evolusi Anarkisme Manusia

Jakarta, Gatra.com – Jika Adam dan Hawa diusir dari Taman Eden karena melahap buah terlarang, maka 30 remaja terpilih penghuni pesawat ruang angkasa Voyagers ‘terusir’ dari kondisi surga mereka akibat berhenti menyantap produk yang diwajibkan untuk dikonsumsi. Sama seperti kedua manusia mula-mula itu harus menghadapi kejamnya dunia nyata, puluhan orang muda ini harus berhadapan dengan konsekuensi emosi primitif dari sifat dasar manusia yang ternyata ganas tak terkira. Naluri dasar itu disandingkan dengan setting futuristik dalam film sci-fi terbaru yang ditulis dan disutradarai Neil Burger. Berikut resensi film Voyagers (Lionsgate, 2021).

Bumi sedang dalam masa krisis. Over populasi, perang antarnegara, bahan pangan makin menipis, kerusakan lingkungan, dan banyak faktor lainnya mendorong para ilmuwan terus berupaya mencari planet baru yang layak huni. Tak disangka planet baru itu ternyata berjarak 86 tahun perjalanan jauhnya dari Bumi. Dengan kata lain, butuh tiga generasi untuk mencapai tempat itu.

Salah satu adegan dalam film Voyagers. (Dok. Lionsgate/fly)

Dimulailah rencana besar terkait perjalanan multi-tahun tersebut. Jika yang dikirim adalah astronot biasa, dikhawatirkan mereka akan stres dalam perjalanan puluhan tahun. Diputuskan untuk ‘melahirkan’ 30 manusia baru.

Mereka adalah bayi tabung yang berasal dari sperma dan sel telur milik individu-individu yang dianggap unggul, misalnya pemenang Nobel juga pakar bioteknologi MIT. Bayi-bayi ini pun dikandung dalam rahim buatan. Sejak lahir hingga dewasa, mereka tak pernah keluar dari gedung tempat mereka dibesarkan. Kondisi ruang tertutup dengan teknologi canggih yang merupakan keseharian mereka meniru interior pesawat Voyagers.

Salah satu adegan dalam film Voyagers. (Dok. Lionsgate/fly)

Saat akhirnya tiba untuk terbang ke luar angkasa, mereka sudah siap. Setiap orang punya tugas penting: kepala bagian medis, kepala bagian teknisi, dan sebagainya. Rutinitas mereka bertujuan agar kondisi pesawat dan kebutuhan sehari-hari cukup untuk perjalanan 86 tahun. Semua berlangsung indah dan damai: makanan cukup, tidak ada konflik, tiap orang melakukan tugas masing-masing dengan tenang.

Christopher Rebbs (Tye Sheridan) dan Zac (Fionn Whitehead) pertama kali menyadari bahwa cairan biru yang wajib mereka minum ternyata mengandung zat kimia khusus yang fungsinya menekan perkembangan emosi 30 orang ini. Tak puas dengan keterangan satu-satunya ilmuwan Bumi yang ikut serta di Voyagers, Richard Alling (Colin Farrell), Chris dan Zac memprovokasi kawan-kawannya untuk berhenti minum cairan biru tersebut.

Akibatnya, monster emosi brutal pun mencuat dari tiap orang dengan wujud yang berbeda-beda. Perlahan tapi pasti, kelakuan fasik berevolusi makin penuh. Ada yang berperilaku vulgar nan sensual di ruang terbuka. Ada pula yang melakukan tindakan sadis hingga terjadilah aksi kriminal di ruang sempit.

Salah satu adegan dalam film Voyagers. (Dok. Lionsgate/fly)

Ketika Sela (Lily-Rose Depp) menolak Zac dan malah dekat dengan Chris, Zac pun gelap mata. Dia memprovokasi mayoritas kawannya untuk menentang pemilihan Chris sebagai pimpinan baru usai kematian Richard. Konflik ini meluas dan mengancam gagalnya perjalanan 86 tahun yang direncanakan dan disiapkan dengan hati-hati tersebut.

Kolonisasi planet baru adalah sebuah hal super klise dalam film sci-fi. Tapi premis “emosi primitif manusia bersimultan dengan ruang futuristik” merupakan hal baru dan menarik. Dalam eksekusinya, film ini berjalan lambat dan cenderung membosankan. Sementara ending terlalu diburu-buru dan sangat mudah diprediksi.

Minim pula pengembangan karakter tokoh-tokohnya. Para remaja ini berasal dari bibit unggul dan setelah dewasa pun terbukti punya kemampuan akademis hebat, dimana semua terlihat tak jauh beda kepintarannya. Tapi ketika bicara soal emosi, kenapa ada yang bisa begitu menonjol kepemimpinannya sementara mayoritas yang lain seperti kerbau dicucuk hidungnya. Itu pun tak jelas alasannya kenapa ada yang menentang pemimpin dan memilih memberontak. Singkatnya, konflik yang ada terlalu dipaksakan terjadi.

Sutradara Neil Burger dan aktor Tye Sheridan di lokasi shooting film Voyagers. (Dok. Lionsgate/fly)

Dibandingkan pasangan tokoh utama (yang wajah keduanya muncul di poster), Tye Sheridan dan Lily-Rose Depp, akting Fionn Whitehead jauh lebih matang. Usai berperan sebagai prajurit tingkat rendah di Dunkirk (Warner Bros. Pictures, 2017) dan tokoh utama di Black Mirror episode Bandersnatch (Netflix, 2018), aktor Inggris ini sukses menghidupan sisi gelap dari Zac. Sementara aktor senior Colin Farrell dengan mudah terlupakan.

Mungkin memang Neil Burger belum bisa maksimal menulis skenario asli. Karya penyutradaraannya, Limitless (Relativity Media, 2011) juga Divergent (Lionsgate, 2014) diangkat dari novel. Dimana keduanya jauh lebih tidak membosankan dibanding Voyagers.

Film Voyagers dirilis secara internasional pada 9 April lalu dan sudah tayang di bioskop seluruh Indonesia mulai Kamis, 29 April. 

2605