Jakarta, Gatra.com – Direktur Eksekutif Institute of Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, menyayangkan adanya pengaturan-pengaturan pidana dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dalam acara Peluncuran Kertas Kebijakan: Catatan dan Desakan Masyarakat Sipil Atas Revisi UU ITE yang digelar secara daring pada Kamis (29/4), Erasmus membedah segala permasalahan setiap pasal UU ITE, mulai dari Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28 Ayat (2), hingga Pasal 29.
“Semua pasal pidana UU ITE Pasal 27-29 ini, kan termasuk kejahatan yang sifatnya bukan tergantung pada pidana ITE, tapi ini adalah tindak pidana konvensional [KUHP] yang dimasukkan ke dalam ketentuan UU ITE,” ujarnya.
Erasmus menyebut hal ini sebagai ketentuan yang sifatnya duplikatif. Ketentuan yang terkandung di dalam UU ITE sama seperti yang terkandung dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 27-29 dalam UU ITE bisa ditemukan di KUHP. Padahal, menurutnya, keduanya harus terpisah.
Sebagai contoh, Pasal 27 Ayat (1) UU ITE adalah duplikasi dari Pasal 281-282 KUHP dan Pasal 4, 5, dan 6 UU Pornografi. “Hampir semua UU Pornografi bisa masuk Pasal 27 Ayat (1) ini sebenarnya. Nah, dia menyalahi ketentuan itu lagi,” ucap Erasmus.
Sebagai perbandingan, UU Pornografi memuat ketentuan untuk melindungi korban dari kekerasan seksual. Menurut UU tersebut, jika seseorang menjadi korban pornografi, maka orang tersebut tidak akan dipidana. Sementara itu, UU ITE Pasal 27 Ayat (1) tidak memiliki ketentuan seperti demikian dan hanya mencantumkan soal “kesusilaan”, sebuah ketentuan yang oleh banyak pihak dinilai masih belum jelas definisinya.
“Maka pertanyaannya, kapan kita pakai UU Pornografi, kapan kita pakai Pasal 27 Ayat (1) UU ITE? Sampai sekarang enggak ada yang tahu karena suka-suka saja, mau pake UU Pornografi boleh, mau pakai UU ITE Pasal 27 Ayat (1) boleh,” ujar Erasmus.
Terlebih lagi, menurut Erasmus, Pasal 27 Ayat (1) dari UU ITE membuat UU Pornografi, yang dalam pandangannya bernilai buruk, jadi terlihat lebih baik. “Jadi kita enggak tahu UU ITE ini baik atau engga sebenernya. Dia membuat citra UU lain jadi terlihat baik,” ucapnya.
Contoh berikutnya adalah Pasal 28 Ayat (2) dari UU ITE. Erasmus menilai bahwa ketentuan dalam pasal ini merupakan duplikasi dari ketentuan yang terdapat pada Pasal 156-157 KUHP tentang ketentuan pencemaran nama baik.
Hanya saja, menurut Erasmus, Pasal 28 Ayat (2) ini memasukkan unsur kebencian individu. Padahal, Pasal 156-157 di KUHP sudah menjelaskan bahwa ujaran kebencian harus berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
“Jadi ketentuannya adalah bukan individu karena kalau individu jatuhnya penghinaan. Kalau saya enggak suka sama seseorang secara individu, ya penghinaan jatuhnya, bukan ujaran kebencian,” kata Erasmus.
Kemudian yang berikutnya adalah Pasal 29 UU ITE soal perundungan. “Yang dimaksud perundungan itu apa? Karena itu bukan istilah dalam pidana. Enggak ada istilah delik perundungan dalam KUHP. Jadi kalau mau bikin delik sendiri, ya boleh saja, asal harus dirumuskan ulang,” ujar Erasmus.
Oleh karena itu, menurut Erasmus, revisi UU ITE menjadi suatu upaya yang tidak bisa ditawar-tawar lagi karena terdapat banyak unsur dan ketentuan yang bermasalah yang terkandung di dalamnya.
Hanya saja, Erasmus beserta kawan-kawannya di Koalisi Serius Revisi UU ITE, harus gigit jari. Pasalnya, pembicaraan soal revisi UU ITE tenggelam lagi karena dinyatakan tidak masuk dalam Prolegnas 2021. Hal ini tentu saja menimbulkan suatu pertanyaan di tengah masyarakat: seriuskah pemerintah dalam upayanya merevisi UU ITE?
Meski demikian, Erasmus mengatakan bahwa pihak pemerintah dan DPR tidak harus merasa berkecil hati ketika diminta untuk melakukan revisi terhadap UU ITE. Menurutnya, para pembuat UU ini sudah punya niat baik dalam merumuskannya.
“Harapan UU ITE ini awalnya, kan bicara tentang informasi dan transaksi elektronik. Tidak tersirat dan tersurat sejak awal bahwa UU ini akan menjadi KUHP KW, dan bahkan lebih buruk dari pengaturan di KUHP. Jadi Anda [pemerintah dan DPR] bukan dalam posisi kalah, tapi Anda berada dalam posisi mengembalikan kembali marwah UU ITE,” ucap Erasmus.
“Jadi jangan menganggap kalau UU ITE ini sebagai UU yang sakral yang kita enggak bisa ubah,” katanya.