Jakarta, Gatra.com – Sebanyak 17 orang yang mengaku sebagai korban dari mafia tanah di Jawa Tengah (Jateng), meminta pihak kepolisian agar menangusut secara profesional kasus yang merugikannya hingga puluhan miliar rupiah.
"Kami para korban [meminta] pihak terkait untuk melakukan pemeriksaan yang objektif, profesional, dan berkeadilan," kata Lukmanul Hakim, kuasa hukum para korban, di Jakarta, Kamis (29/4).
Lukman mengungkapkan, belasan kliennya yang menjadi korban mafia tanah itu berada di sejumlah daerah di Jateng, di antaranya Salatiga, Kudus, Semarang, dan Brebes hingga Yogyakarta. Adapun terduga pelakunya adalah seorang laki-laki berinisial AH (36 tahun).
AH merupakan putra dari salah satu miliarder asal Semarang, Jateng, inisial BH. Dia tinggal di Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang. Modusnya, AH pura-pura membeli sejumlah tanah milik korban dengan cara melakukan transaksi terlebih dahulu dengan memberikan uang muka atau down payment (DP).
Setelah itu, pihak AH meminta sertifikat dengan alasan akan dibalik nama. AH dibantu oleh dua anak buahnya, salah satunya notaris paruh waktu atau freelance.
Dia memitanya dengan bujuk rayu dan tipu daya dengan modus bahwa pelunasan akan dilakukan setelah dana dari bank cair. Lukman mengungkapkan, para korban yang keumudian menjadi kliennya percaya bahwa AH berlaku jujur. Terlebih, dia merupakan putra dari pemilik salah satu perusahaan terbesar di Semarang.
Kemudian, sertifikat para korbanpun berubah menjadi atas nama AH. Balik nama sertifikat itu dilakukan dengan cara yang berbeda-beda, di antaranya meminta sertifikat asli untuk mengecek keabsahannya. Ada juga dengan meminta para korban menandatangani kertas kosong hingga memalsukan tanda tangan akta kuasa menjual.
Setelah sertifikat dibalik nama atas nama AH, dia kemudian mengajukan pinjaman ke sejumlah bank pelat merah dan swasta. Peminjaman tersebut menggunakan nama perusahaan milik AH.
Anehnya, AH mendapatkan pinjaman atau kredit dalam jumlah fantastis di atas nilai aset yang diagunkan. "Korban juga merasa heran, sebab pada lazimnya pinjaman ke bank, tidak boleh melebihi collateral yang sudah dijaminkan," ungkapnya.
Ternyata, lanjut Lukman, AH diduga menggelembungkan (mark up) nilai jual aset korbannya. Dia mengajukan pinjaman kepada 5 bank pelat merah dan swasta. "Nilai pinjaman yang sangat bervariatif. Hampir semua dijanjikan akan dilunasi setelah kredit cair, akan tetapi sampai dengan saat ini belum dilunasi," ungkapnya.
Adapun dana pinjaman dari sejulah bank tersebut, di antaranya Rp17,8 miliar dari salah satu bank daerah dengan jaminan tanah di Jalan Kagok, Rp21,4 miliar dari bank pelat merah dengan jaminan tanah di Brebes, dan Rp50 miliar dari bank swasta.
Pinjaman dari bank swasta itu dengan jaminan 4 sertifikat tanah, yakni di Jalan Afandi yang dahulu Jalan Gejayan, Dusun Mrican, Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Sleman. Total luas 2.200 M2 terdiri dari 4 sertifikat, yaitu SHM No. 12925 seluas 747 M2, sekarang menjadi SHGB No. 2003; SHM No. 12928 seluas 752 M2 sekarang menjadi SHGB No. 2015; SHM No. 12924 seluas 197 M2, dan SHM No. 12927 seluas 545 M2, sekarang menjadi SHGB No. 2002.
Selanjutnya, kredit dari bank pelat merah sebesar Rp95 miliar dengan jaminan 11 sertifikat tanah di Jalan Lingkar Selatan (Ring Road Salatiga), 2 sertifikat tanah dan bangunan berlokasi di Jalan Afandi (dahulu Jalan Gejayan), Condongcatur, Depok, Sleman, dan 4 sertifikat tanah kosong di Jalan Raya Kudus-Jepara KM 11, Papringan, Kaliwungu, Kudus. Dalam proses jual beli untuk tanah Salatiga dan Kudus, AH diduga menggunakan KTP palsu.
Untuk pinjaman dari bank pelat merah cabang Semarang dengan jaminan aset 10 orang korban, di antaranya asal Salatiga 1 orang, Kudus 1 orang, Yogyakarta, dan 1 pinjaman total Rp75 milliar dengan PT GCP. Untuk jaminan aset yang ada di Brebes cair Rp20 miliar dengan nama PT HIVT.
Saat ini, lanjut Lukman, semua kreditnya macet, sehingga tanah para korban sudah masuk lelang. Sedangkan semua perusahaan yang digunakan untuk mengajukan kredit sudah dipailitkan.
"Dalam pengajuan kredit ke bank-bank terdapat mark up jaminan sehingga dapat pencairan yang nominalnya bisa 2 kali sampai 3 kali lipat dari nilai jaminan kredit-kredit tersebut," ujarnya.
Lukman mengungkapkan, pihaknya sudah melaporkan kasus ini di Polda Jateng, Krimsus Semarang, dan Polrestabes Semarang. Akan tetapi, laporan tersebut ada yang dihentikan karena alasan kurang bukti. Ada juga yang sudah naik ke penyidikan tetapi tersangkanya malah pihak lain.
"Bahkan ada dari kami yang dikriminalisasi dan dilaporkan oleh AH sampai menjadi tersangka," ujarnya.
Adapun untuk laporan di Polda Jateng dan Poltabes Semarang masih belum ada perkembangan. Laporan kasus tersebut di ataranya pada tahun 2018. Bahkan, salah satu laporan korban atas nama WS dihentikan penyidikanya (SP3). Ironisnya, pelapor malah menjadi tersangka. Adapun laporan korban R pada 2019 sempat stagnan selama 5 bulan.
Lukman mengungkapkan, pihaknya menyampaikan kasus ini dengan harapan jika ada korban lain, bisa bersama-sama meminta pertanggung jawaban dari AH. Gatra,com masih berupaya mengonfirmasi pihak terkait.
Sementara itu, anak miliader asal Semarang yang juga pengusaha, Agus Hartono, membantah tuduhan beberapa oknum yang menyebutnya sebagai mafia tanah, yakni melakukan penipuan dalam jual beli tanah di beberapa daerah dengan nilai mencapai Rp95 miliar.
Agus Hartono menyampaikan bantahan tersebut melalui kuasa hukumnya, M. Dias Saktiawan, Menurutnya, tuduhan tersebut merupakan fitnah keji yang tidak berdasar serta merugikan nama baik kliennnya.
“Faktanya beberapa oknum yang mengaku korban ternyata merupakan mafia tanah yang saat ini sudah ditetapkan tersangka oleh polisi dan beberapa di antaranya menjadi terlapor atas tindak pidana lain,” katanya kepada wartawan di Semarang, Sabtu (1/5).
Lebih lanjut Dias menyatakan, mengapresiasi kinerja Satgas Antimafia tanah polisi yang saat ini telah berhasil mengungkap oknum-oknum yang terlibat pada kasus dugaan mafia tanah.
Upaya penanganan yang dilakukan pihak kepolisian ini merupakan jawaban atas klaim kriminalisasi terhadap para korban.
“Polisi tentunya tak akan menetapkan seseorang sebagai tersangka tindak pidana tanpa alat bukti yang kuat,” ujarnya.
Dia menyebutkan, oknum yang mengaku korban bernisial WD telah ditetapkan Polrestabes Semarang sebagai tersangka atas tindak pidana mafia tanah dalam proses jual beli tanah.
“Dari penetapan tersangka WD oleh Polrestabes Semarang ini, bisa disimpulkan siapa sebenarnya yang mafia tanah. Karena klien kami selalu menyelesaikan seluruh kewajibannya sesuai akta otentik,” katanya.
Dias menambahkan, dalam pemeriksaan di penyidik seluruh tanah tersebut dibeli Agus Hartono dengan tunai dan menggunakan akta otentik semua di hadapan notaris.
“Pernyataan Lukmanul Hakim atas kriminalisasi terhadap klien kami sangat mendiskreditkan para penyidik kepolisian yang telah bekerja secara profesional dan akuntabel. Klien kami akan menempuh upaya hukum, baik pidana maupun perdata kepada seluruh pihak yang melakukan fitnah dan melakukan pencemaran nama baik,” ujarnya.