Jakarta, Gatra.com – Direktur Eksekutif Institute of Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, menyayangkan adanya pengaturan-pengaturan pidana dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena, menurutnya, UU ini sebetulnya punya tujuan yang mulia.
“Pengaturan pidana dalam UU ini kalau saya bisa bilang dengan bahasa yang agak kasar, ini menodai harapan besar dan luhur dari pembuat UU ITE,” ujar Erasmus dalam acara Peluncuran Kertas Kebijakan: Catatan dan Desakan Masyarakat Sipil Atas Revisi UU ITE yang digelar secara daring pada Kamis (29/4).
“Harapan UU ITE ini, awalnya kan bicara tentang informasi dan transaksi elektronik. Tidak tersirat dan tersurat sejak awal bahwa UU ini akan menjadi KUHP KW, dan bahkan lebih buruk dari pengaturan di KUHP,” kata Erasmus.
Erasmus melanjutkan bahwa pihak pemerintah dan DPR tidak harus merasa berkecil hati ketika diminta untuk melakukan revisi terhadap UU ITE. Menurutnya, para pembuat UU ini sudah punya niat baik dalam merumuskannya.
“Jadi Anda [pemerintah dan DPR] bukan dalam posisi kalah, tapi Anda berada dalam posisi mengembalikan kembali marwah UU ITE,” ucapnya.
Erasmus juga berpesan agar tidak perlu membentur-benturkan masyarakat dengan pemerintah atau DPR. Dalam pandangannya, ini lebih ke soal memperbaiki kesalahan yang pernah terjadi. “Selayaknya manusia yang baik, kita harus mengakui kesalahan dan memperbaiki kesalahan itu,” katanya.
Erasmus juga menekankan bahwa revisi UU ITE ini bukan hanya urusan satu atau dua lembaga saja, tetapi juga urusan setiap lapisan masyarakat. Dia ingin lebih banyak masyarakat sadar kalau siapapun tanpa terkecuali berpotensi dikenai UU ITE yang kontroversial ini.
Seperti diketahui, pembicaraan soal revisi UU ITE tenggelam lagi setelah dinyatakan tidak masuk dalam Prolegnas 2021. Hal ini tentu saja menimbulkan suatu pertanyaan di tengah masyarakat: seriuskah pemerintah dalam upayanya merevisi UU ITE?
Koalisi Serius UU ITE menilai bahwa masyarakat semakin tertekan dengan adanya UU ini. Alih-alih melindungi, UU ini dinilai malah lebih banyak menjerat masyarakat.
Beberapa pasal bermasalah dalam UU tersebut di antaranya adalah Pasal 27 Ayat (1) tentang kesusilaan, Pasal 28 Ayat (2) tentang ujaran kebencian, dan Pasal 29 tentang perundungan yang dinilai masih belum jelas unsur-unsur dan rumusan-rumusannya.
Oleh karena itu, revisi UU ITE menjadi suatu upaya yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. “Jadi jangan menganggap kalau UU ITE ini sebagai Undang-Undang yang sakral yang kita enggak bisa ubah,” kata Erasmus.