Jakarta, Gatra.com– Retty Ratnawati selaku Komisioner Komnas Perempuan mengungkapkan, salah satu situasi perempuan Papua adalah memiliki kekerasan yang berlapis. Hal itu disampaikannya lewat Zoom dalam diskusi online #PapuanWeek yang bertajuk “Hak Atas Kesehatan dan Pemulihan Perempuan Papua”, yang juga disiarkan langsung via Facebook Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada Rabu sore, (28/4).
“Jadi ini juga, ditunjukkan di sini bahwa angka kekerasan terhadap perempuan yang sangat tinggi, kemudian terhadap perempuan disabilitas pada tahun 2019, dan kekerasan saat konflik, jadi konflik tanah, lapang atau sumber penghidupan yang lain. Dan tingginya angka perempuan dengan HIV/AIDS, termasuk pada perempuan ibu rumah tangga. Dan di pengungsian, kemudian juga perempuan mengalami kesulitan untuk mengakses layanan pada penanganan kekerasan terhadap perempuan, pada masa pandemi COVID-19 ini,” terang Retty.
“Saya ingin mengingatkan aja, bahwa semua kekerasan, apapun bentuknya, ini akan mempunyai dampak terhadap tubuh kita, terutama adalah di daerah otak, yang ini bisa mengakibatkan orang jatuh pada kondisi setress psikologis, maupun setress fisik. Sehingga dia [korban kekerasan] kemungkinan mempunyai penyakit yang sebetulnya mungkin tidak akan diderita kalo dia tidak mengalami suatu kondisi kekerasan,” imbuhnya.
Retty menyebut kondisi sexual abuse atau kekerasan seksual memang tidak terlihat secara kasat mata. Akan tetapi, menurut studi di Kenya, sekitar 18% korban kekerasan akan menderita depresi ringan hingga sedang jika dia terkena sexual abuse saat usia kurang dari 16 tahun. Sisanya, yang 82% itu merupakan penderita depresi sedang sampai berat. “Masalahnya karna itu tidak terlihat, dia [depresi] bisa tinggal di sana, depresinya itu, bahkan sampai kemungkinan dia akan keinginan bunuh diri, ataupun menunjukkan trauma, kalau orang menyebutnya trauma begitu, trauma psikologis yang diderita,” jelasnya.
Lanjut Retty, sedangkan apabila umurnya lebih dari 16 tahun, maka hanya 8% yang jatuh pada kondisi depresi ringan dan sedang. Sementara, yang 92% itu akan jatuh pada kondisi depresi yang sedang hingga berat.
Ia pun menerangkan, dengan kondisi serta situasi pola berfikir yang berubah, hal ini juga akan mempengaruhi sistem organ lainnya serta mempengaruhi fungsi dari sistem organ lain. Karena di dalam otak ini memiliki berbagai macam fungsi yang berbeda, dan jika ada yang rusak di salah satu bagian, maka akan mempengaruhi yang lain. Diketahui, kebanyakan mempengaruhi terhadap sistem pencernaan, jantung, paru-paru dan juga dapat mempengaruhi organ yang lain.
“Tapi tidak selalu bahwa dia akan menyebabkan kognitif, kemampuan kognitifnya itu berkurang. Jadi, tidak selalu dia kemudian jadi bodoh gitu maksudnya, tidak selalu gitu. Tapi ada hal-hal yang membuat dia menjadi lebih suka menyendiri, selalu merasa terintimidasi gitu ya, nah itu, hal-hal seperti itu yang tidak kelihatan. Trauma psikis ini yang sebetulnya berat dibandingkan kalo trauma fisik, karena kalo trauma fisik bisa kelihatan, kalo ini yang tidak bisa kelihatan,” ujar Retty.