Pati, Gatra.com - Umumnya limbah ranting bambu dan kayu hanya dimanfaatkan untuk keperluan kayu bakar. Namun di tangan warga Desa Puluhan Tengah, Kecamatan Jakenan, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, benda minim manfaat itu dikreasikan menjadi kaligrafi yang indah dan bernilai jual tinggi.
Adalah Ahmad Muntasir warga Dukuh Nelu RT 04/RW 02 yang membuat kaligrafi dari limbah bambu. Di bulan suci Ramadan seperti sekarang ini, permintaan akan seni kaligrafi buatannya meningkat hingga dua kali lipat dibanding hari biasa.
“Permintaan kaligrafi limbah bambu pada bulan puasa ini mengalami peningkatan, bahkan saya harus meluangkan waktu ekstra untuk memenuhi pesanan,” ujarnya saat ditemui Gatra.com di kediamannya, Senin (26/4).
Muntasir mengatakan jika pada hari biasa hanya memproduksi sebanyak 10-15 kaligrafi per bulan. Pada Ramadan tahun ini, mampu membuat hingga 30 lebih karya yang terbuat dari bahan tak terpakai.
Muntasir menyebut, awal ketertarikannya mengolah dan memanfaatkan limbah bambu. Tidak lain karena keinginannya mendaur ulang benda yang dianggap ‘tidak berguna’ oleh sebagian orang.
Hingga pada 3 tahun lalu, ia memantabkan diri membuat kaligrafi dari limbah bambu. Lumrahnya, seni kaligrafi terbuat dari media kertas dan dikuas dengan cat atau tinta.
“Saya kan hobi membuat kaligrafi, nah melihat banyaknya ranting bambu di sekitar rumah, saya punya ide untuk mencoba membuat kaligrafi dari limbah bambu,” turutnya.
Setelah memunculkan satu karya berlafadz Allah dan Muhammad, ia pun memberanikan diri untuk mengunggah di salah satu grup media sosial (Medsos) Facebook, saat itu. Tak disangka, respon netizen sangat baik, bahkan banyak yang tertarik untuk memesan karyanya.
“Untuk ukuran terkecil dengan tingkat kesulitan mudah saya jual Rp50.000. Sementara yang cukup rumit dan besar, ya ratusan ribu rupiah,” kata bapak satu anak itu.
Kebanyakan kaligrafi hasil tangannya, berupa tulisan lafaz Allah, Muhammad, Assalamualaikum, Kalimat Tauhid, dan Surat Pendek. Sementara untuk kaligrafi pesanan khusus, di antaranya berupa nama bayi, serta calon pasangan pengantin.
Muntasir mengaku, hanya menerima pesanan karena sebagai usaha sampingan. Mengingat dalam kesehariannya, pria berusia 31 tahun ini bekerja di salah satu toko onderdil di Kecamatan Juwana.
“Paling banyak lewat order, saya enggak stok. Kalau ada pesanan baru saya buatkan. Soalnya kalau siang kan kerja di toko,” jelasnya.
Dikatakannya, untuk mendapatkan limbah bambu sebagai bahan utama, ia tidak kesulitan. Mengingat, jarak 200 meter dari rumahnya terdapat kebun bambu. Ia biasa mencari di sana.
Sedangkan untuk limbah kayu yang digunakan sebagi background, ia dapatkan dari potongan kayu bakar. Proses pembuatan cukup sederhana. Awalnya bambu dipotong menggunakan gergaji sesuai ukuran. Selanjutnya potongan-potongan bambu diamplas, lalu dirangkai sedemikian rupa di media kayu, dan direkatkan dengan lem kayu. Sesudah itu, diangin-anginkan sehingga lem merekat kuat.
Produk setengah jadi tersebut, selanjutnya di semprot (Clear) agar mengkilat dan dihias sedemikian rupa.
“Saya tidak mengecat karena akan menghilangkan sifat orisinil bambu. Di sini saya menggunakan bambu apus karena kekuatannya,” terangnya.