Jakarta, Gatra.com-Penyakit atrial fibrilasi (AF) adalah gangguan irama jantung (aritmia) yang paling sering dijumpai di Indonesia bahkan di dunia. Pertambahan usia menjadi risiko terbesar munculnya AF, terutama pada kelompok populasi usia di atas 65 tahun. Sementara itu data dari penelitian (MONICA–multinational Monitoring of trend and determinated Cardiovascular disease) pada populasi urban di Jakarta menemukan angka kejadian AF sebesar 0,2% dengan rasio laki-laki dan perempuan 3:2,4. Mengingat adanya peningkatan signifikan persentase populasi usia lanjut di Indonesia dari 7,74% (pada tahun 2000-2005) menjadi 28,68% (estimasi WHO tahun 2045-2050), angka kejadian AF juga akan meningkat secara signifikan.
Data di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPDHK) juga menunjukkan bahwa persentase kejadian AF pada pasien rawat selalu meningkat setiap tahunnya, yaitu 7,1% pada tahun 2010, meningkat menjadi 9,0% (2011), 9,3% (2012) dan 9,8% (2013)
Kepala kelompok staf medik aritmia, dr. Sunu Budi Raharjo, Sp.JP(K), Ph.D menjelaskan bahwa pasien dengan AF memiliki risiko stroke lima kali lebih besar dan berat dibandingkan dengan populasi tanpa AF. Stroke merupakan salah satu komplikasi AF yang paling dikhawatirkan, karena stroke yang diakibatkan AF mempunyai risiko kekambuhan yang lebih tinggi. Selain itu, stroke akibat AF mengakibatkan peningkatan risiko kematian dua kali lipat. Pasien dengan AF juga memiliki risiko gagal jantung 3 kali lebih tinggi dibanding pasien tanpa AF.
“AF dapat menyebabkan stroke dan gagal jantung. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan pada AF, serambi kiri pasien tidak dapat memompa darah dengan baik, sehingga terdapat resiko timbulnya bekuan darah di serambi kiri. Bekuan darah ini dapat lepas dan terbawa peredaran darah sehingga menyumbat pembuluh darah yang menuju otak. Pasien dengan AF seringkali juga datang dengan denyut nadi yang cepat, yang pada akhirnya dapat menyebabkan jantung terlalu “lelah” dan akhirnya terjadi penurunan fungsi pompa” paparnya.
Umumnya penderita AF akan merasakan jantung yang berdebar dalam kurun waktu yang tidak menentu (paroksismal). “Kadang pasien merasakan berdebar saat dirumah namun saat periksa di RS normal. Sehingga tidak mudah untuk mendeteksinya. Gejala berdebar ini timbul dan hilang tanpa kita bisa prediksi pencetusnya” imbuhnya. Lain halnya dengan kasus serangan jantung yang memiliki cara deteksi lebih mudah. Pasien umumnya datang dengan nyeri dada yang hebat, dan memiliki hasil pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) yang tidak normal.
Dalam melakukan penegakan diagnosa, pasien diharuskan mengikuti beberapa rangkaian pemeriksaan, antara lain Elektrokardiogram (EKG), Holter, Echo, dan CT Scan.
Menurutnya, pada kasus AF tindakan ablasi menjadi solusi bagi pasien AF dengan tingkat kesuksesan tindakan antara 70 – 80 persen. Kateter ablasi lebih baik dalam mengendalikan gejala dibandingkan dengan pemberian obat-obatan yang optimal. Bahkan untuk penanganannya kini telah memiliki terobosan terbaru.
Terapi AF telah dikenal sejak tahun 90an dengan nama ablasi radiofrekuensi, namun akhir-akhir ini terapi ini banyak mengalami kemajuan. Ablasi umumnya dikerjakan dengan memberikan energi panas pada jaringan jantung di serambi kiri pasien. Durasi tindakan umumnya memakan waktu yang lama ? 4-5 jam. Pada dekade terakhir, ini ditemukan suatu terobosan baru yang memiliki durasi tindakan yang lebih cepat dengan efektivitas yang sebanding. Tindakan ini disebut ablasi cryo (cryoablation). Berbeda dengan tindakan ablasi pendahulunya yang menggunakan energi panas, ablasi cryo menggunakan energi beku untuk menciptakan efek terapi. RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPDHK) merupakan satu-satunya RS yang dapat mengerjakan tindakan ini di Indonesia sejak tahun 2019.
“Sebelumnya, penanganan kasus AF selalu menggunakan energi panas melalui radiofrekuensi yang memiliki 40 – 50 derajat celcius. Berbeda dengan radiofrekuensi, ablasi cryo menggunakan nitrogen cair yang memiliki suhu hingga minus 50 derajat celcius,” paparnya.
Selain memiliki tingkat keberhasilan yang sama, tindakan ablasi cryo umumnya menggunakan obat sedatif dan anti-nyeri yang lebih rendah dibanding dengan ablasi radiofrekuensi. Keuntungan terbesar dari ablasi cryo adalah durasi prosedurnya yang umumnya membutuhkan waktu 1- 2 jam. Sementara tindakan dengan radiofrekuensi memakan waktu lebih lama, yakni 4 – 5 jam.
Tingkat risiko bagi pasien yang menjalani ablasi cryo juga lebih kecil bila dibandingkan dengan ablasi radiofrekuensi, yakni kurang dari 10 persen. Hal ini disebabkan oleh pemberian energi yang hanya diarahkan ke 4 area di sekitar serambi kiri. Pada lain hal, ablasi radiofrekuensi mengarahkan titik ablasi ke puluhan titik di serambi kiri, hal ini juga yang membuat penggunaan ablasi cryo memiliki resiko tindakan dan tingkat nyeri yang lebih rendah dibandingkan dengan ablasi radiofrekuensi.
Sebelum tindakan, pasien diwajibkan melakukan puasa selama 6 jam dan berhenti mengkonsumsi obat pengencer darah sesuai dengan petunjuk dokter. “Umumnya, pasien yang menjalani ablasi cryo bisa rawat jalan setelah dilakukan observasi selama satu hari pasca tindakan,” tambahnya.
“Di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, hingga kini sudah melakukan ablasi cryo terhadap 15 pasien dengan kasus AF,” pungkasnya. Dengan hasil yang baik tanpa didapatkan adanya efek samping dan komplikasi yang berat. (IPPU - RSJPDHK) (Adv)