Home Gaya Hidup Pemeluk Agama Baha’i Indonesia Dulu Terbesar se-Asia

Pemeluk Agama Baha’i Indonesia Dulu Terbesar se-Asia

Pati, Gatra.com- Bagi masyarakat awam di Indonesia mungkin masih asing dengan agama Baha’i. Padahal agama ini sudah masuk ke nusantara sejak era kolonialisme. Dan bahkan, Indonesia pernah menduduki ranking teratas pemeluknya di Asia.

Umat agama Baha’i Cebolek Kidul, Sanusi mengatakan, agama Baha’i berkembang pesat pada tahun 1950. Sehingga di hampir seluruh wilayah Indonesia banyak dijumpai Majelis Rohani. Di Keresidenan Pati misalnya, Majelis Rohani berdiri di Kabupaten Pati dan Rembang.

“Pemeluk agama Baha’i di Indonesia yang terbesar di Asia saat itu. Sehingga sebelum tahun 1960, diagendakan untuk diadakan Konferensi Regional Asia Agama Baha’i di Jakarta,” ujarnya, Rabu (21/4).

Adanya konferensi itu pun menjadi magnet tersendiri bagi pemeluk agama Baha’i di seluruh dunia untuk menghadiri acara tersebut ke Indonesia. Nahasnya saat itu, sentimen asing tengah membuncah, lantaran Presiden Sukarno menyerukan operasi Trikora dan Dwikora.

Lahirlah Keppres Nomor 264 Tahun 1962, tentang larangan enam organisasi, termasuk organisasi Baha’i di dalamnya. Untuk kemudian Keppres tersebut dicabut melalui Keppres Nomor 69 Tahun 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur.

“Kadang banyak yang salah mengartikan Keppres 264/1962 itu. Padahal yang dilarang di sini adalah organisasinya bukan agamanya,” jelas Sanusi saat ditemui di salah satu rumah pemeluk agama Baha’i di Desa Cebolek, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

Di eks-Keresidenan Pati, umat agama Baha’i hanya dapat dijumpai di Desa Cebolek Kidul, jumlahnya pun tidak banyak hanya 19 orang. Penyusutan yang cukup drastis tersebut, tak lain dilatarbelakangi terbitnya Keppres 264/1962 tersebut.

Sementara berdasarkan data tahun 2014 dari kajian Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaaan Kementerian Agama. Pemeluk agama Baha’i di Jakarta berjumlah 100 orang, Bandung sebanyak 50 orang, Palopo 80 orang, Medan 100 orang, Bekasi 11 orang, Surabaya 98 orang, Malang 30 orang. Terakhir Banyuwangi yang menduduki peringkat pertama yakni sebanyak 220 pemeluk agama Baha’i.

Sedangkan berdasarkan buku Agama Baha’i terbitan tahun 2015 yang diterima Gatra.com, bahwa agama Baha’i adalah agama kedua yang paling tersebar di seluruh dunia. Serta sebagai agama yang berdiri sendiri di lebih 230 negara.

Bendahara Majelis Rohani Setempat (MRS) Baha’i Cebolek Kidul, Sulistiyani menerangkan, jika agama Baha’i adalah agama independen dan bukan sekte atau aliran dari agama lain. “Agama Baha’i berpegang pada tiga asas utama yakni, Tuhan YME, kesatuan sumber surgawi dari semua agama, dan kesatuan manusia,” terangnya.

Lanjutnya, agama Baha’i juga memiliki kitab sucinya sendiri yang bernama Al Aqdas. Sementara rumah ibadahnya disebut Mashriqul Adhkar. Berbeda dengan tempat ibadah agama lain, di Mashriqul Adhkar semua pemeluk agama diperbolehkan untuk menggunakannya beribadah sesuai keyakinannya, meski tidak beragama Baha’i.

“Umat agama Baha’i juga diwajibkan untuk sembahyang secara individu, berdoa, dan berpuasa. Puasa ini biasanya dilakukan dalam periode tertentu dalam kalender Badi. Kami juga merayakan hari raya Naw-Ruz. Sedangkan untuk ibadah wajibnya, ada ibadah panjang, sedang, dan pendek,” rinci Sulistiyani.

Agama Baha’i tidak mengenal kepemimpinan individu, tetapi dipimpin oleh 9 perwakilan di Balai Keadilan Sedunia. Perwakilan itu, ditentukan melalui pemilihan 5 tahunan oleh umat agama Baha’i di seluruh dunia.

Ketika membahas agama Baha’i tidak lengkap rasanya, jika tidak mengulik kisah Baha’ullah sang pembawa wahyu agama Baha’i yang lahir di Kota Teheran, Persia (sekarang Iran) pada tahun 1817. Untuk selanjutnya pada tahun 1863, Baha’ullah mengumumkan iman agama Baha’i di Kota Baghdad, Irak.

Sebelum meninggal dunia di kota penjara Akka, Palestina (sekarang Israel) pada tahun 1892. Baha’ullah banyak menuliskan wahyu yang diterimanya selama 40 tahun. Kurang lebih ada 100 buku tercipta, khususnya Al Aqdas yang menjadi kitab suci agama Baha’i.

Dalam wasiatnya, Baha’ullah menunjuk putra sulungnya, Abdul Baha’ sebagai penafsir yang sah atas catatan religius tersebut, sekaligus pemimpin pusat perjanjian. Setelah Abdul Baha’ wafat pada tahun 1921, kepemimpinan agama Baha’i diteruskan oleh cucu sulung Abdul Baha’ yaitu Shoghi Effendi Rabbani sebagai Wali agama Baha’i. Dari tangan Shoghi, banyak didirikan lembaga masyarakat agama Baha’i, termasuk menerjemahkan tulisan Baha’ullah dan Abdul Baha’ ke dalam bahasa Inggris.

Di Indonesia sendiri, agama Baha’i disebarkan oleh dua saudagar yang bernama Jamal Effendi dan Mustafa Rumi saat berkunjung ke Batavia pada tahun 1878. Selain di Batavia, keduanya juga tercatat mengunjungi Surabaya, Bali, Makasar, Parepare, dan Bone.

Agama Baha’i semakin banyak pengikutnya, saat Shoghi Effendi Rabbani menugaskan sejumlah dokter melalui Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk membantu Indonesia yang baru saja merdeka pada tahun 1945.

“Shoghi Effendi sebagai Wali Baha’i waktu itu, menugaskan sejumlah dokter ke Indonesia. Karena setelah kemerdekaan, Indonesia kekurangan tenaga medis. Maka dokter-dokter spesialis yang beragama Baha’i turut membantu tugas kemanusiaan,” jelas Sanusi.

Para dokter itu tersebar di wilayah Indonesia. Sementara pada tahun 1950 di Kabupaten Rembang yang mengemban tugas kemanusiaan ialah dr Khamzi, seorang dokter spesialis asal Persia. “Saat itu di Pantura timur Jawa Tengah seperti Rembang, Blora, Pati, hingga Demak banyak yang belajar agama Baha’i,” terangnya.

Di Kabupaten Pati sendiri, agama Baha’i dikenal selepas perjumpaan antara dr Khamzi dengan Sutiyono yang saat itu berprofesi sebagai pendidik di Rembang pada tahun 1958.

“Jadi yang membawa agama Baha’i di Kabupaten Pati itu ada dua orang, di Pati Kota adalah Rahman Tarmuzi dan yang di Cebolek itu Sutiyono. Saat itu Agama Baha’i menyebar sampai ke Cluwak,” imbuh Sanusi.

Meski pemeluk agama Baha’i sudah ada sejak zaman penjajahan, tetapi penganut agama Baha’i masih belum mendapatkan hak dalam administrasi kependudukan. Bahkan diskriminasi hingga saat ini, masih dirasakan oleh umat agama Baha’i.

Seperti pada tahun 1972 yang merupakan buntut dari terbitnya Keppres 264/1962. Banyak pemeluk agama Baha’i yang ditangkap dan dijebloskan kepenjara karena berpegang pada keyakinannya.

“Kemudian yang berstatus PNS diancam dipecat dari jabatannya, jika masih beragama Baha’i. Saya sendiri, tahun 1989-1999 harus keluar-masuk Kejaksaan karena persoalan ini,” kenang Sanusi.

Masalah tersebut tuntas, tatkala umat agama Baha’i Cebolek Kidul yang digawangi Ibu Jamali meminta bantuan Abdurrahman Wahid yang saat itu menjadi Ketua PBNU Pusat.

“Saya sendiri yang mendatangi beliau, pak Gus Dur saat itu belum jadi presiden. Lalu saya dikasih surat untuk disampaikan kepada Bupati Pati Sauji agar perkaranya dihentikan,” jelasnya.

Keadilan dalam administrasi kependudukan pun, belum dirasakan sepenuhnya oleh pemeluk agama Baha’i di Pati. Misalnya, perkawinan mereka hanya tercatat dalam surat keterangan nikah Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia. Sementara Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Pati, belum mau mengeluarkan akta perkawinan selain enam agama resmi dan pemeluk aliran kepercayaan. Lantaran belum dikeluarkannya akta perkawinan, berpengaruh pada data akta kelahiran, Kartu Keluarga (KK), dan KTP.

“Hak sipil kami banyak yang belum terpenuhi. Meski begitu tidak membebani kami sebagai umat agama Baha’i karena kami diajarkan untuk memberikan kesetiaan kepada pemerintah,” sambung Sulistiyani.

Anehnya, imbuh Sulistiyani, di beberapa daerah di luar Jawa, ada akta perkawinan dan kelahiran yang dicatat oleh dinas setempat. “Di Jawa sendiri malah yang masih kesulitan. Di Tenggarong (Kalimantan Timur), Timika, dan daerah lain boleh,” ungkapnya.

Anak-anak yang beragama Baha’i di Pati pun tidak luput dari diskriminasi. Bahkan, ada siswa yang dikeluarkan dari sekolah negeri karena keyakinanannya berbeda dengan enam agama resmi.

Ada pula siswa beragama Baha’i yang tidak diperbolehkan untuk mendapatkan pendidikan agama oleh Kemenag Pati melalui surat Nomor Kd.11.18/2/BA.00/1303/2012. Dalihnya, di Indonesia tidak ada agama yang bernama agama Baha’i.

“Saat itu saya yang mengajar di sekolah itu, hanya berjalan satu semester. Oleh kepala sekolah diperbolehkan, tetapi dari instansi itu tidak dizinkan,” ungkap Sulistiyani.

Padahal dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 2 disebutkan, bahwa anak didik diberikan pelajaran agama sesuai dengan agama yang dipeluknya.

Kesulitan demi kesulitan terus mendera umat agama Baha’i di Cebolek Kidul, bahkan saat seorang umat meninggal dunia pada tahun 2010, jenazahnya sempat merana. Pasalnya sejumlah warga dan pemerintah desa menolak, jika almarhum dikebumikan di pemakaman umum setempat. Begitupun saat hendak dimakamkan di tanah pribadi berupa kebun.

Alternatif terakhir, pihak desa mengizinkan pemakaman di tanah desa yang berada di area pertambakan. Hanya saja, lokasi makam ini sangat jauh dari permukiman dan susah diakses. Tercatat sudah ada 6 penganut agama Baha’i yang dimakamkan di sana.

“Pernah kita harus masuk ke sungai untuk menyeberang, sembari membawa jenazah untuk dimakamkan. Meski mendapatkan perlakuan seperti itu, kami tidak pernah menuntut ke jalan untuk demonstrasi. Karena di antara landasan iman Baha’i adalah menghilangkan segala bentuk prasangka dan kesetiaan kepada pemerintah,” jelas Sulistiyani.

Ditambahkan, pemeluk agama Baha’i cenderung membaur dan menghargai kemajemukan di dalam kehidupan sosial. Sehingga kehidupan umat agama Baha’i di tengah masyarakat tidak menimbulkan stigma.

“Kami selalu mengikuti kegiatan masyarakat. Contohnya jika ada tahlilan pun kami turut serta, sebagai bentuk menghargai umat agama lain dan sebagai bentuk toleransi,” tandasnya.

13773