Labuhanbatu, Gatra.com- Berbagai upaya dilakukan demi sebuah penghasilan. Biasanya, para kepala keluarga akan berupaya bagaimana memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari.
Begitu juga halnya bagi sebagian warga di Dusun Bom, Desa Negerilama Seberang, Kecamatan Bilah Hilir, Kabupaten Labuhanbatu, Provinsi Sumatera Utara (Sumut).
Tidak selalu melihat latarbelakang pendidikan ataupun keturunan siapa. Sebahagian warga, ketersediaan alam dijadikan sebagai tumpuan mencari nafkah untuk bertahan hidup, salahsatunya aliran sungai Bilah.
Tidak hanya mahluk hidup dalam air yang mampu memberikan mata pencaharian. Namun, bentangan aliran sungai Bilah yang melintasi belakang rumah penduduk disana, ternyata masih menyimpan sumber lain.
Misalnya saja seperti dilakoni Mamat (49). Pria yang telah dikarunia anak 4 itu, mengambil kesimpulan harus bertahan hidup diantara kebutuhan sehari-hari.
Ya, hamparan pasir yang ada di dasar sungai berukuran lebar rata-rata 30 meter itu, menjanjikan rupiah. Jenisnya, ada disebut pasir halus, ada juga yang mengatakan pasir kasar.
Bagi Mamat, bangun sekitar pukul 05.30 WIB, tidak menjadi halangan. Sebab, selain mempersiapkan bekal asupan selama mengeruk pasir memakai serokan besi berbentuk kerucut yang diberi gagang kayu, juga melihat kondisi sampan pengangkut.
Kepulan asap di dapur yang harus terus mengepul, membuat kulitnya tidak lagi merasakan gigitan udara dingin subuh itu. "Kalau dingin, ya dingin sekali, namanya juga masih subuh," sebut Mamat saat ditemui beberapa waktu lalu dibilangan Sei Bilah Negerilama.
Pilihan waktu turun menjelajahi alur Sei Bilah untuk mencari pasir yang akan dikeruk dan ditumpuk di dalam sampan kayu yang biasa dinamakan Sugutik, biasanya guna menghindari cuaca panas.
Sebab, jika mulai menyerok dipercepat, maka waktu kepulangan paling lama diperkirakan sekitar pukul 16.00 WIB. Biasanya dalam sehari, pria berkulit hitam akibat hantaman terik matahari itu akan mendapatkan 3 sampai 4 kubiknya.
"Biasanya sehari dapat kita sampai 4 kubik atau 4 meter. Harga jual setiap meternya sebesar Rp25.000. Tapi kitalah yang membongkar pasirnya sampai ketempat tumpukan di darat," aku ayah yang kesemua anaknya telah bersekolah itu.
Bekerja sebagai pengeruk pasir serokan yang dilakoninya sejak mulai berumahtangga tersebut, menurutnya belum terbilang mencukupi. Paling tidak, kebutuhan utama keseharian anak serta istrinya, mampu ia penuhi.
Agar tidak kewalahan kebutuhan akan sampan kayunya, Mamat harus pandai-pandai mengatur ekonominya. Walaupun usia sampan berbahan kayu Haloban atau Meranti sampai mencapai 20 tahun, tetapi harus pula rajin merawatnya.
Jika tidak, maka waktu ketahanan sarana menopang kehidupannya itu, akan cepat terbuang. "Harus pandai merawat juga, misalnya sering kita olesi minyak dan waktu-waktu tertentu dijemur sekalian nyisip mana tau ada yang bolong atau pecah," paparnya.
Pastinya, bagi Mamat pencaharian mengeruk pasir dengan rintangan panasnya terik mentari dan juga kuatnya arus sungai, tidak menjadikannya patah arang. Kebutuhan hidup anak dan istrinya merupakan dorongan dia harus menyusuri aliran Sei Bilah.