Home Gaya Hidup Imam Shamsi Ali: Islamophobia Bukan Sesuatu yang Baru

Imam Shamsi Ali: Islamophobia Bukan Sesuatu yang Baru

Jakarta, Gatra.com – Presiden Nusantara Foundation di Amerika Serikat (AS), Muhamad Shamsi Ali, yang juga sebagai Imam di Jamaica Muslim Center, New York, AS, mengungkapkan bahwa Islamophobia adalah bukan sesuatu yang baru.

“Kalau berbicara tentang Islamophobia ini kan memang bukan sesuatu yang baru. Kita imani bahwa dakwah itu pasti mendapat tantangan," kata Shamsi dalam webinar bertajuk “Mengapa Islamophobia Meningkat (Catatan Dari Amerika Serikat)” gelaran Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada Selasa (20/4).

Secara iman, Islamophobia adalah sesuatu yang alami. Bagi Shamsi dan rekan-rekan yang bergerak di bidang dakwah, khususnya di tengah-tengah non-muslim yang menjadi mayoritas di dunia Barat dan AS, sangat sadar betul bahwa pasti tantangan itu akan ada.

"Sehingga, kami tidak perlu over worried, terlalu khawatir, apalagi ketakutan menghadapi Islamophobia tersebut,” ucapnya.

Shamsi menerangkan, jika melihat Islamophobia di dunia Barat dan di Amerika khususnya, memang bukan sesuatu yang baru atau pun bukan barang baru. Akan tetapi sesuatu yang bersifat historis. Contohnya, yakni ada 2 penamaan studi Islam yang populer di Barat dan AS.

“Hanya akhir-akhir ini baru kita dengarkan apa yang disebut dengan Islamic studies [studi Islam]. Tapi dulu-dulu hampir tidak pernah kita dengarkan kata islamic studies itu, namanya dua. Yang pertama orientalism dan yang kedua middle eastern studies,” ungkapnya.

Menurut Shamsi, kedua penamaan tersebut tanpa disadari telah membentuk phobia atau upaya-upaya untuk membangun rasa takut atau kekhawatiran kepada orang-orang di Barat tentang agama ini.

“Kenapa disebut orientalism? Agama ketimuran, kenapa timur? Karena dunia ini kan dibagi kepada beberapa ya, ada barat ada timur," ujarnya.

Menurutnya, pengistilahan western, western countries atau western nations ternyata itu lebih kepada sebuah penggambaran kepada demografi, bukan penggambaran geografi. Buktinya, Australia dan New Zealand juga bisa dikategorikan sebagai bangsa Barat. Maka, ketika orang mengatakan bahwa Islam adalah agama ketimuran, itu adalah antitesis daripada Barat.

Sedangkan Barat, lanjut Shamsi, ialah tempat orang-orang lebih beradab, berpendidikan, kuat, pintar, maju dan lain-lain. Di sana juga terdapat Hak Asasi Manusia (HAM), demokrasi, serta kebebasan.

“Maka ketika Islam digambarkan sebagai agama timur, maka itu lah Islam, sebaliknya dari semua yang positif tadi itu,” katanya.

“Demikian juga ketika dikatakan middle eastern studies, studi ketimurtengahan. Kenapa Timur Tengah? karena Timur Tengah berarti lebih identik kepada Arab ya, dan kata Arab di dunia Barat dan di Amerika ini, dengan segala kedekatan, ya antar Amerika dan dunia Arab, karena oil, karena minyak, sesungguhnya memiliki konotasi yang negatif. Makanya Islam itu digambarkan seperti agamanya orang Arab,” ujar Shamsi.

Dengan demikian, kalau dikatakan Muslim, maka imajinasi adalah orang bertinggi besar, memakai jubah dengan sorban, berdiri di padang pasir di samping unta dengan pedang terhunus.

"Ini kan penggambaran ini ya, bahwa Islam itu agamanya Timur Tengah, agamanya orang Arab, siapa Arab itu? Konotasinya negatif seperti yang saya sebutkan tadi. Orang yang kaku, rigid, orang yang suka emosi, orang yang suka berperang, orang yang tidak ada demokrasi, tidak ada kebebasan, enggak menghormati wanita. Nah, semua ini kan konotasi yang kemudian ingin dikaitkan dengan ajaran agama Islam,” katanya.

Shamsi menjelaskan bahwa studi Islam yang berada di universitas-universitas sedari dahulu pun sebetulnya membangun sejenis persepsi. “Maka studi Islam pun sesungguhnya di universitas-universitas dari dahulu pun itu ada membangun semacam persepsi ya, image building bahwa Islam itu agamanya demikian. Jadi bukan sesuatu barang baru sesungguhnya,” ungkapnya.

586

KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR