Jakarta, Gatra.com– Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai masyarakat di pesisir utara Pulau Jawa di dalam film “Tenggelam Dalam Diam” itu tak memiliki ruang untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan. “Sebetulnya ruangnya tidak pernah ada, karena persoalan yang ditampilkan di dalam film ini itu, itu dianggap tidak ada. Misalnya saja kan, pemerintah akan sibuk menggunakan influencer dan lain-lain untuk mengatakan ini bencana alam kok, begitu,” terangnya.
Asfina mengatakan, film tersebut merupakan film yang luar biasa meskipun berada di sekitar mereka dan ia lagi-lagi merasa kesal, sedih, dan marah saat menontonnya. “Nah, tetapi kalau kita lihat film ini dan kalau kita datang saja sekali, sejam saja ke rumah ibu-ibu di Jakarta Utara, kita akan sadar bahwa masalah mereka itu sangat nyata, gitu. Dan bukan hanya nyata, ya sudah hampir enggak bisa ditahankan lagi sampe akhirnya mereka bercakap-cakap dengan persoalan itu,” ucapnya.
Hal itu disampaikan Asfinawati dalam diskusi film “Tenggelam Dalam Diam”, yang bertajuk “Melihat Fenomena Krisis Iklim dari Kaca Mata Hukum dan Filsafat Lingkungan” secara daring, yang disiarkan langsung via kanal YouTube Greenpeace Indonesia pada Senin petang, (19/4). Film tersebut dibuat oleh rumah produksi WatchdoC beserta organisasi lingkungan Greenpeace Indonesia dan para konten kreator.
Namun jika ditanya soal ruang tersebut, terang Asfina bahwa sebetulnya kalau melihat secara normatif ya memang ada walaupun bersifat lebih mengikat secara moral. “Kalau ditanya hak, jadi sebetulnya ada haknya tetapi entah bagaimana tentunya saja dengan, dengan banyak sekali kepentingan, banyak sekali pelanggaran hukum, pelanggaran konstitusi, kemudian hak-hak mereka ini tidak ada, ruangnya tidak ada,” tuturnya.
Di samping itu, Asfina menerangkan YLBHI mencatat pelanggaran terhadap partisipasi politik di tahun 2020 lalu. Menurutnya, hak politik bukan hanya soal mencoblos saja namun juga termasuk berpartisipasi dalam pembangunan semisal diberitahukan informasi terkait pembangunan sekitar, bahkan harusnya masyarakat menjadi pusat dari pembangunan.
“Jadi kita sering membayangkan atau negara sering mendangkalkan politik itu adalah mencoblos, gitu ya. Meskipun kita enggak bisa memilih yang kita coblos, tetapi sebetulnya hak politik bukan itu, bukan itu saja. Hak politik termasuk berpartisipasi dalam pembangunan, diberitahukan informasi tentang pembangunan di sekitar mereka apa, bahkan harusnya mereka menjadi pusat dari pembangunan. Ini sebetulnya komitmen Indonesia di berbagai platform yang lain, tetapi kenyataannya tidak terjadi,” ungkapnya.
“Jadi persoalan, akar persoalannya memang menurut data-data itu, menunjukkan pemerintah itu mengatas namakan pembangunan untuk rakyat dengan mengambil pekerjaan rakyat, dengan mengambil rumahnya rakyat, mengambil lahan pertanian rakyat dan bahkan mengambil laut pantainya rakyat, begitu, baik secara simbolis tapi betul-betul ada kayak misalnya di Pulau Pari kan. Mereka yang membuka Pulaunya atau di daerah Jogja, daerah di sekitar Jogja juga cerita yang sama,” tambah Asfinah.