
Jakarta, Gatra.com – Pendiri WatchdoC, Dandhy Dwi Laksono, mengungkapkan gagasan mereka memvisualkan pesisir utara pulau Jawa dalam film “Tenggelam Dalam Diam” itu karena wilayah tersebut rentan terhadap abrasi. “Nah, lalu ketika gagasan untuk bagaimana memvisualkan pesisir utara Jawa sebagai pusat populasi saya pikir, jadi apa, Jawa kami capture bukan semata-mata Jawa sentris gitu, karena ini adalah ground zero-nya, apa namanya, abrasi gitu,” ungkapnya, dalam diskusi film secara daring yang disiarkan langsung oleh kanal YouTube Greenpeace Indonesia pada Senin sore, (19/4).
Sedangkan menurut Dandhy, gagasan dari Greenpeace Indonesia, organisasi kampanye lingkungan internasional, menginginkan film itu jangan terlalu tampak seperti WatchdoC, sehingga mereka berkolaborasi dengan para konten kreator. Di mana, film “Tenggelam Dalam Diam” kemudian disutradarai oleh Muhamad Sridipo dan telah ditayangkan dari tanggal 27 Maret 2021 lewat kanal YouTube Watchdoc Documentary.
Ia mengatakan juga menghimpun banyak tim serta turut memproduseri film tersebut, hingga mereka menjadi teman diskusi terkait apa yang harus difilmkan. “Lalu ada, muncul lah gambaran tadi ya bagaimana ujung timur Jawa dan ujung Barat dipersatukan dengan isu yang sama tentang tadi, tentang masyarakat yang dipaksa untuk beradaptasi sebenarnya, jadi terpaksa beradaptasi karena memang tidak ada pilihan,” tutur Dandhy.
“Mereka tidak punya pilihan properti untuk pindah, mereka tidak punya pilihan ruang untuk melakukan migrasi begitu ya, mereka terpaksa meninggikan rumah ketika, ketika air naik begitu ya, dan mereka kehilangan semua memori kolektifnya tentang makam, tentang sekolah yang tenggelam begitu ya, belum lagi semua skala usaha dari mulai kecil sampe, sampe industri tekstil, industri batik di Pekalongan juga semua terendam gitu ya, terdampak gitu ya,” imbuhnya.
Selain itu kata Dandhy, tadinya film itu malah ingin diberikan judul “Waterworld”, seperti filmnya Kevin Costner. Dikarenakan untuk memberikan perspektif bahwa yang mereka lakukan adalah beradaptasi, sebab mereka berada di dalam baris sosial yang tak memiliki banyak pilihan guna menghadapi krisis iklim maupun bencana-bencana lokal seperti penurunan muka air tanah dan segala macamnya.
“Jadi kami hanya ingin memberikan, memberikan gambaran saja, dari mulai, dari mulai di Jakarta yang masalah itu kemudian menimbulkan, ya karena air lautnya sudah lebih tinggi dari daratan, anda tidak mungkin punya akses air pada air bersih, anda harus membeli air. Itu adalah ekstra, ekstra money atau pengeluaran tambahan bagi masyarakat, hingga, apa namanya, para tambak, para petambak bandeng gitu ya yang juga menghadapi abrasi,” ucapnya.
Walaupun di sisi lain pun, lanjut Dandhy, pertambakan berskala besar juga mempunyai persoalan dengan pantai, bahkan mereka pun menghadapi masalah yang lebih besar lagi. “Jadi, ini spektrumnya, supaya juga tidak terjebak ke hitam putih begitu, jadi kami memunculkan, memunculkan problem ini,” terangnya.
Tak lupa, Dandhy memberikan ucapan terimakasih kepada penonton film “Tenggelam Dalam Diam” lewat diskusi tersebut. “Kawan-kawan yang sudah menonton terimakasih, kalau enggak salah sudah lebih dari 300 ribu orang yang, yang menonton film ini, yang belum menonton setelah diskusi ini mudah-mudahan bisa segera menonton. Daripada menunggu nobar kayak Kinipan, mendingan sudah langsung menonton filmnya, sudah online,” ujar eks jurnalis itu.