Jakarta, Gatra.com - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengakui bahwa penyelenggaraan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) justru berdampak negatif pada kegembiraan anak kala menjalani proses belajar.
Belum lagi, PJJ yang selama ini dilakukan lebih dari satu tahun karena adanya pandemi pun, juga berdampak pada munculnya kasus-kasus anak yang putus sekolah di tanah air.
"PJJ saat pandemi COVID-19 memang berdampak. Sampai ada yang putus sekolah. Tapi mengenai berapanya, saya belum bisa menyampaikan karena datanya masih di Dapodik," kata Pelaksana Tugas Direktur SMA Ditjen PAUD Dikdasmen Kemendikbud, Purwadi dalam keterangannya, Senin (19/4).
Purwadi menyebut, kasus itu ditemui di beberapa daerah. Salah satu daerah yang laporannya masuk adalah ada beberapa anak putus sekolah di Nusa Tenggara Barat (NTB) dikarenakan persoalan ketidak mampuan untuk mengikuti PJJ, baik dari segi ekonomi maupun mental.
"Di NTB ada laporan mengenai anak SMA yang putus sekolah dan memutuskan menikah. Katanya dia merasa tugas sekolah terlalu berat. Belum lagi karena anak itu berasal dari keluarga miskin yang mana persoalan keterediaan fasilitas PJJ tentu sulit didapat,"bebernya.
Oleh karenanya, Purwadi menuturkan bahwa opsi Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas merupakan solusi dari PJJ yang berkepanjangan
Nantinya, dalam pelaksanaan PTM terbatas, tentu sekolah harus bekerja sama dengan dinas pendidikan setempat. Jika ditemukan kasus positif COVID-19, maka sekolah harus ditutup.
"Ini alasan SKB empat menteri tentang Pembelajaran di tengah pandemi dikeluarkan. Karena kita ingin tatap muka terbatas diterapkan. Sudah banyak anak dan guru mengeluhkan stress karena PJJ," pungkasnya.