Bantul Gatra.com - Warga dari dua desa beda kecamatan di Kabupaten Bantul, Yogyakarta memprotes keberadaan penambangan pasir di muara Sungai Opak. Tambang liar yang sudah ada sejak tahun 2000-an tersebut bahkan kini menyasar pasir laut.
Aksi protes dilakukan oleh ratusan warga dengan melakukan demotrasi di kawasan hutan bakau muara opak. Mereka berasal dari Desa Tirtohargo, Kecamatan Kretek dan Desa Srigading, Kecamatan Sanden.
Koordinator aksi pada Minggu siang (18/4), Setyo mengatakan awal kehadiran para penambang pasir illegal ini adalah mencari pasir di tengah Sungai Opak dengan menggunakan perahu.
"Alasan awalnya dulu, pengambilan pasir di sungai dengan menyelam merupakan upaya normalisasi sungai dan mencari nafkah. Ini alasan klasik yang tidak pernah kami terima," kata Setyo.
Karena terus dibiarkan aparat keamanan, lima tahun terakhir ini para penambang ilegal menjadikan bukit pasir pantai yang ada di barat mulut muara Sungai Opak sebagai komoditas utama.
Dampaknya, Setyo mengatakan lahan pertanian yang ada di sisi utara sungai Opak terkena abrasi. Pasalnya hutan mangrove yang selama ini menjadi pelindung dari terjangan ombak muara juga terseret abrasi.
Ini belum lagi hilangnya habitat penyu bertelur di area muara karena semakin dangkalnya pasir.
"Alasan menambang pasir pantai agar mulut muara tidak tersumbat gudukan pasir adalah upaya pembodohan kepada masyarakat," tegas Setyo.
Sebab puluhan tahun, para petani menyadari bahwa proses penutupan mulut muara oleh pasir laut selatan adalah proses alam. Biasanya untuk mengatasinya, petani setahun sekali mengurasnya namun tidak membawa pasir laut pulang.
Mengingat dampaknya negatifnya lebih besar dibandingkan positifnya. Warga menurut Setyo menolak tegas keberadaan penambangan pasir di Sungai Opak maupun sepanjang pantai selatan.
Warga lainnya, Sunardi mengaku sebenarnya dirinya kecewa karena saat didemo warga para penambang yang jumlahnya puluhan dan beroperasi setiap hari langsung hilang bak ditelan bumi.
"Padahal setiap hari puluhan kapal menambang. Herannya, muara ini tidak jauh dari Mako Polairud (Polda DIY). Namun mereka tidak pernah melakukan apap-apa untuk mencegah aksi penambang liar," katanya.
Terpisah, Kepala Desa Srigading, Prabowo Suganda maupun Kepala Desa Tritohargo Sugiyanto sama-sama mengakui sulitnya menindak para penambang liar ini.
"Ketika ada aparat yang memantau maka aktivitas menambang pasir berhenti namun ketika aparat pergi aktivitas penambangan pasir berlangsung kembali. Mereka seperti kucing-kucingan dengan aparat hukum," kata Prabowo.
Pihak desa sendiri tidak bisa menindak para penambang karena menurut Prabowo dan Sugiyanto, desa bukan institusi penegak hukum.