Jakarta, Gatra.com – Menko Perkonomian era Abdurahman Wahid (Gus Dur), Rizal Ramli, mengkritisi pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dalam Pertemuan Musim Semi Dana Moneter Internasional-Kelompok Bank Dunia Tahun 2021, yakni meminta Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) membantu sejumlah negara soal pengelolaan utang.
Rizal dalam keterangan tetulis pada Sabtu (17/4), lantang menyatakan, Indonesia akan kembali masuk dalam jurang krisis yang lebih dalam jika kembali berurusan dengan IMF.
Ekonom senior ini yakin perekonomian Indonesia akan tambah hancur seperti tahun 1998 silam jika kembali melibatkan IMF. Ia berpendapat demikian karena setelah berurusan dengan IMF atau Dana Moneter Internasional, krisis ekonomi Indonesia bukannya membaik.
Menurut Rizal, bukannya keluar dari krisis moneter tahun 1998, Indonesia malah terjerumus ke dalam krisis ekonomi hingga memantik kerusuhan di bidang politik dan keamanan.
Ia mengungkapkan, masih ingat persis saat-saat kondisi paling buruk yang menimpa negeri ini. Indonesia melalui Widjojo Nitisastro mengundang IMF untuk mendikte pemerintah di era 1998.
Saat itu, Rizal salah satu ekonom yang diundang pemerintah untuk bertemu dengan petinggi IMF di Jakarta. Ia menentang keras kehadiran IMF dalam persoalan ekonomi Indonesia.
"Saya dulu ekonom yang menentang masuknya IMF. Saya bilang keras-keras, Indonesia tidak butuh IMF. Krisis akan makin buruk kalau IMF diundang masuk ke Indonesia," ujar mantan anggota Tim Panel Ekonomi PBB ini.
Namun, lanjut Rizal, Presiden Soeharto malah meneken perjanjian dengan IMF. Bos IMF, Michael Camdessus, menyaksikan penandatanganan tanggal 15 Januari 1998 itu sambil menyilangkan kedua lengan di dada.
Adapun Soeharto, kata Rizal, membungkuk untuk menandatangani Letter of Intent (LoI). Menurutnya, itu merupakan momen kekalahan Indonesia oleh IMF.
Kekhawatiran Rizal bukan tanpa bukti. Selain Indonesia, sejumlah negara yang berurusan dengan IMF, terperosok semakin dalam. Pasalnya, IMF mengeluarkan berbagai kebijakan yang tambah memperburuk situasi.
"Begitu IMF masuk, dia sarankan tingkat bunga bank dinaikkan dari 18% rata-rata jadi 80%. Banyak perusahaan langsung bangkrut," ujarnya.
Kemudian, saran IMF untuk menutup 16 bank juga menuai polemik. Kebijakan ini menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat pada perbankan Indonesia. Para nasabah ramai-ramai menarik uang simpanannya di bank.
Akibatnya, pemerintah terpaksa menyuntikkan dana Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar US$ 80 miliar. Langkah ini merupakan awal malapetaka, yakni kasus korupsi triliunan rupiah yang sampai hari ini masih belum berhasil dituntaskan.
Lantas IMF meminta Indonesia menaikkan harga BBM. Kemudian Soeharto menaikkan harga BBM hingga 74% pada 1 Mei 1998. Menurut Rizal, ini menyulut kerusuhan besar-besaran di Indonesia.
"Besoknya demonstrasi besar-besaran. Kerusuhan di mana-mana, ribuan orang meninggal. Rupiah anjlok," ungkapnya.
Indonesia membutuhkan waktu bertahun-tahun agar bisa keluar dari krisis ekonomi. Berbanding terbalik dengan Malaysia yang menolak bekerja sama dengan IMF dan mengeluarkan kebijakan ketat soal moneter. Hasilnya, mereka dengan mudah keluar dari krisis.
Rizal mengatakan, hanya di era Gus Dur yang tidak menambah utang negara. "Waktu saya masuk, minus 3% ekonominya. Kami putuskan tidak mengikuti kebijakan IMF, kita jalan sendiri dengan segala kontroversinya," ujar Rizal.
Ia mengaku bisa menarik napas lega saat perekonomian Indonesia yang tadinya minus 3%, dalam kurun waktu 2 tahun tumbuh menjadi 4,5%. "Mimpi buruk soal IMF itu masih kita ingat. Indonesia tak perlu bantuan IMF," ujarnya.
Adapun pernyataan Sri Mulyani yang ditanggapi Rizal Ramli, “Kami membutuhkan pengawasan dan bimbingan yang lebih besar dari Bank Dunia dan IMF untuk mengatasi masalah utang dan mengurangi tekanan yang meningkat.”