Batam, Gatra.com – Maskapai Lion Air Grub mengaku masih kesulitan mendapatkan perusahaan suplayer ban pesawat dari dalam negri untuk MRO BAT. Meski perusahaan ban dan perkebunan penghasil karet banyak terdapat di Indonesia.
Direktur Lion Air Grup, Edward Sirait, mengatakan, pihaknya tengah menghadapi sistem kapitalisme yang terjadi di setiap pembuatan ban pesawat di Tanah Air. Dua perusahaan merk ban pesawat pemegang sartifikasi dan lisensi tak mau berbagi.
"Pasarnya jelas, ada sekitar 700 unit pesawat milik beberapa maskapai penerbangan yang beroprasi di Indonesia. Tentu, kebutuhan ban pesawat sangat besar dengan omset yang tidak sedikit pula," katanya di Batam, Kamis (15/4).
Karena setiap pengadaan ban pesawat harus melalui dua perusahaan pemegang lisensi ini, Edward menyatakan, vulkanisir ban pesawat menjadi hal yang lumrah untuk dipilih guna menyiasati dalam industri penerbangan.
"Pabrik ban yang ada di Indonesia tidak mampu menghadapi sistem kapitalis yang telah terjadi lama. Karena dua perusahaan yang berhak melakukan riset merupakan pemain lama di dunia ban kendaraan serta pemegang sartifikasi FAA," ujarnya.
Perusahaan ban di Indonesia tidak mampu menembus pasar industri penerbangan, baik sekala regional maupun Internasiona, karena sartifikasi tidak dikeluarkan oleh Asosiasi Penerbangan Internasional (FAA).
Fasiliras MRO yang digarap oleh Lion Air Grup, saat ini telah mencapai pasar Asia, seperti Malaysia, Thailand, dan Burma dalam perawatan pesawat. MRO yang dimiliki oleh Lion Air Grup di Batam, merupakan yang terbesar kedua di Indonesia, setelah Garuda Maintenent Facility yang berada di Jakarta.
"Kegalauan saya adalah kebun karet banyak terdapat di Indonesia, pabrik produksi ban juga menjamur, namun sartifikasi tidak diperoleh. Sebagus apa ban yang diproduksi oleh perusahaan ban dalam negri, tidak akan bisa digunakan lantaran tidak mengantongi sartifikasi FAA," ujarnya.