Home Gaya Hidup Mengenal Masjid Tertua di Pati, Warisan Mbah Cungkrung

Mengenal Masjid Tertua di Pati, Warisan Mbah Cungkrung

Pati, Gatra.com - Masjid Baiturrohim yang berada di Desa Sukoharjo, Kecamatan Margorejo disebut sebagai salah satu  masjid tertua di Kabupaten Pati, setelah Masjid Prawoto. Bahkan masjid yang dikenal dengan nama Masjid Gambiran itu, pernah menjadi masjid utama dan terbesar di kabupaten berjuluk Bumi Mina Tani, Jawa Tengah.

Humas Masjid Baiturrohim, Amal Hamzah mengatakan, Masjid Gambiran didirikan pada tahun 1600 oleh Mbah Cungkrung yang tak lain adalah tokoh kunci penyebar agama Islam di Pati dan sekitarnya, selain Wali Songo. Sumber lain juga menyebut, jika masjid tersebut didirikan pada tahun 1445.

“Saya kira lebih tua Masjid Prawoto. Masjid Prawoto dibangun tahun 1500. Atau mungkin antara Masjid Prawoto dan Gambiran bisa seusia,” ujarnya, Minggu (11/4).

Meski begitu, ia menegaskan, jika Masjid Gambiran dulunya merupakan masjid pusat penyebaran agama Islam di Pati, terlebih menjadi yang terbesar pada abad 16. Sebelum Masjid Agung Baitunnur Alun-alun Pati dibangun.

“Masjid Pati itu didirikan sesudah Masjid Gambiran. Masjid Pati itu saja berdiri tahun 1845 direnovasi 1969, lalu direnovasi lagi pada tahun 1980,” sambung pria yang berprofesi sebagai guru sejarah di SMA I Pati itu.

Masjid Gambiran sendiri, telah mengalami perubahan akibat renovasi yang dilakukan oleh Bupati Pati Raden Ario Candrahadinegara pada tahun 1885. Meski begitu, tidak mengubah arsitektur utama.

“Dibongkar dan dirikan lagi tahun 1885 dan selesai tahun 1886. Dapat dilihat di atas pintu, di situ ada prasasti berhuruf arab pegon, orang menyebutnya prasasti gambiran,” terang Amal.

Renovasi itu, lebih condong mengganti dinding kayu ke tembok dan menambah bagian depan masjid, agar mampu menampung lebih banyak jamaah yang hendak melakukan ibadah salat berjamaah. Tempat wudu pun dipindahkan ke sebelah selatan yang semula di sisi timur masjid. Meski begitu, kolam tempat wudu yang lama masih ada hingga sekarang ini. 

Sedangkan, empat pilar kayu penyangga bangunan, mimbar, jendela dan pintu kayu berukir dibiarkan seperti adanya, termasuk atap limas bersusun khas Kesultanan Demak.

“Waktu renovasi, ada mustaka dari kendil kecil di puncak atap. Diganti mustaka yang baru. Sedangkan kendil itu dibawa ke daerah Tawung oleh murid Mbah Cungkrung,” terangnya.

Dijelaskan Amal, sosok Mbah Cungkrung adalah penyebar agama Islam di Pati yang merupakan murid Sunan Muria. Meski begitu, tak banyak yang mengetahui nama asli Mbah Cungkrung.

“Enggak ada yang tahu persis nama aslinya. Cungkrung sendiri adalah julukan. Cungkrung dalam bahasa Jawa artinya sujud. Karena kebiasaannya bersujud (salat) makanya dipanggil Kyai Cungkrung,” bebernya.

Makam Mbah Cungkrung sendiri terletak di sebelah selatan masjid. Sekitar 50 meter pengunjung bakal menemui peristirahatan terakhir Mbah Cungkrung dan Nyai Cungkrung. Setiap 1 Suro dalam penanggalan Jawa, masyarakat biasa menggelar haul di makam tersebut.

“Mbah Cungkrung ini wali berjalan, jadi tidak membuat pondok pesantren. Metode dakwahnya langsung ke lokasi-lokasi kerumunan untuk menyiarkan agama Islam,” ucapnya.

2657