Jakarta, Gatra.com - Direktur Eksekutif IESR (Institute for Essential Services Reform), Fabby Tumiwa mengatakan bahwa terdapat 2 konteks yang tak bisa dilepaskan terkait Long Term Strategy (LTS) atau strategi aksi iklim jangka panjang di Indonesia.
"Yang pertama adalah bahwa beberapa minggu yang lalu, Kementrian LHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) melakukan konsultasi publik, membahas long term scenario. Dari pertemuan tersebut, materi yang disampaikan ada banyak pertanyaan sebenarnya dari kami, yang juga selama ini mengamati, menggeluti isu perubahan iklim, khususnya juga yang coba mengkaji beberapa sektor yang menjadi kontributor utama emisi gas rumah kaca di Indonesia," ungkapnya, dalam sambutannya di webinar bertajuk "Indonesia Mampu Capai Netral Karbon Sebelum 2070" via Zoom pada Jumat sore, (9/4).
Fabby menyebut bahwasanya itu sebenarnya yang menjadi pertanyaan dalam konteks tata kelola. Semisal, siapa sebenarnya yang punya otoritas untuk menetapkan kapan Indonesia "pick" dan kapan mencapai net zero atau bisa disebut netral karbon.
Dalam konteks kedua, menurutnya terkait dengan kondisi Tanah Air hari ini, yakni di mana beberapa hari yang lalu di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB) itu mengalami bencana Badai Tropis Seroja dan bukan kali pertama di Indonesia sejak awal 2021.
"Bencana hidrometeorologi itu mengalami peningkatan ya. BNPB [Badan Nasional Penanggulangan Bencana] mencatat ada kalau tidak salah 763 bencana sejak awal tahun ini, gitu ya. Dan sebagian besar adalah bencana hidrometeorologi. Nah, ini seharusnya menjadi catatan kita semua karena kalau kita lihat bencana yang terjadi di Indonesia ini intensitasnya itu semakin tinggi ya", tuturnya.
Tadi pagi, (9/4) lanjut Fabby membaca komentar dari Prof. Edvin Aldrian, salah satu ahli di bidang perubahan iklim. Profesor tersebut mengatakan, bahwa Seroja itu merupakan anomali dan ia mengindikasikan adanya perubahan iklim. "Kita seharusnya sudah mulai sadar mengenai hal ini dan kalau kita lihat bencana hidrometeorologi di Indonesia itu terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun ya," kata Fabby.
Ia menerangkan, jikalau dikaitkan dengan climate changes atau perubahan iklim, maka laporan dari IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) sudah menyatakan bahwa kenaikan di atas 1,1 derajat celcius temperatur sejak masa pra-industri itu meningkatkan frekuensi serta magnitude cuaca ekstrem. Tercatat dalam 10 tahun terakhir, kejadian cuaca-cuaca ekstrem dan temperatur global terus meningkat.
"Nah, kejadian ini tentunya harusnya menjadi perhatian kita semua, karena climate changes adalah sebuah permasalahan global. Dan Indonesia juga menjadi salah satu negara yang berkomitmen, tadi kita lihat bahwa presiden sudah menyatakan bahkan kita sudah mengaplikasi Persetujuan Paris ya. Tapi dilihat bahwa komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional itu masih dirasa kurang oleh banyak pihak." ucap Fabby.
Seraya ia menambahkan, menurut Climate Action Tracker (CAT) bahwa Indonesia masih dinilai kurang walaupun telah merasa cukup ambisius dalam konten pencapaian Paris Agreement atau Persetujuan Paris. "Oleh karena itu, butuh upaya-upaya untuk melakukan akselerasi ya dan bahkan kita harus berupaya untuk mencapai kondisi netral karbon ya pada pertengahan abad ini," tutup Fabby.