Jakarta, Gatra.com - Pemerintah diminta bersikap adil dalam memperlakukan Industri Hasil Tembakau (IHT). Pemerintah diminta jangan takut tekanan dari kelompok tertentu, dengan alasan pengendalian konsumsi lalu menaikan Harga Jual Eceran (HJE) dan cukai rokok setinggi-tingginya. Namun melupakan peran penting industri tersebut dalam menyerap tenaga kerja dan menggerakan perekonomian sekaligus memberikan pemasukan pada negara.
Hal tersebut disampaikan Peneliti Pusat Pengkajian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Imanina Eka Dalilah dan Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (Sekjen PP APTI) Wening Swasono, kepada pers di Jakarta, Kamis (8/4).
Menurut Imanina, pemerintah sebetulnya dapat menjalankan sikap yang adil terhadap industri hasil tembakau. Yakni, di satu sisi pemerintah perlu memperhatikan pengendalian konsumsi lewat kenaikan cukai dan harga jual eceran, di sisi lain perlu mempertahankan keberadaan dan keberlangsungan industri tersebut, untuk penyerapan tenaga kerja dan perekonomian, pemerintah perlu segera membuat road map atau peta jalan IHT.
"Industri hasil tembakau perlu road map atau peta jalan untuk menjamin kepastian dan keberlangsungan Industri itu sendiri. Namun yang perlu diperhatikan adalah dalam proses pembuatan roadmap tersebut harus melibatkan stakeholder terkait. Dalam hal ini pelaku industri hasil tembakau baik skala besar maupun skala menengah dan kecil," papar Imanina.
Menurut Imanina, roadmap yang dibentuk nanti semacam buku acuan, guideline yang dapat digunakan sebagai pedoman bersama dalam merumuskan kebijakan IHT. Baik dari segi jumlah produksi rokok, besaran cukai setiap tahun dan yang lainnya.
Sependapat dengan Imanina, Sekjen Pengurus Pusat APTI Wening Swasono, berpendapat, road map yang dibuat pemerintah tidak perlu dalam bentuk Undang-Undang. Namun kesepakatan bersama antara para menteri dan pelaku industri hasil tembakau itu sendiri. Dengan demikian proses pembuatannya selain melibatkan para pelaku IHT dan kementrian perindustrian juga melibatkan kementerian keuangan dan kementerian Kesehatan.
"Yang berkompeten menyiapkan road map industri hasil tembakau adalah Kementrian Perindustrian, Kementrian Perdagangan, Kementrian LHK, Kementrian Kesehatan, Kementrian Keuangan, dan Kementerian Tenaga Kerja serta para pelaku industri hasil tembakau itu sendiri. Sehingga masing masing Kementerian tidak berjalan sendiri sendiri dalam mengambil kebijakan yang berkaitan dengan IHT," ungkap Wening.
Lebih lanjut, kembali ke Imanina, ia berpendapat jika yang pantas memimpin pembuatan road map untuk IHT adalah Menteri Koordinator bidang perekonomian. Pihak Menko Perekonomian perlu melibatkan pelaku industri hasil tembakau seperti asosiasi petani tembakau atau, pengurus gabungan pabrik rokok (Gapero atau Gappri)
"Kementerian Perekonomian sebagai koordinator dapat memimpin dalam pembuatan roadmap ini dengan melibatkan kementrian lain yang terkait, termasuk kementerian kesehatan, serta pihak-pihak terkait lainnya," papar Imanina.
Imanina menolak adanya anggapan, belum adanya road map IHT karena pemerintah secara perlahan akan mematikan IHT di tanah air. Menurutnya pemerintah tidak akan mematikan IHT karena faktor banyaknya tenaga kerja yang terserap di sektor industri ini.
"Kita tidak bisa langsung mengambil kesimpulan bahwa pemerintah secara perlahan akan mematikan industri ini. Bagaimanapun pemerintah juga masih mempertimbangkan tenaga kerja yang ada dalam IHT ini," tuturnya.
Baik Wening Swasono maupun Imanina, berpendapat, dalam road map IHT yang harus disiapkan pemerintah sebaiknya mengandung, yang pertama terkait masalah besaran tarif cukai kurang lebih dalam lima tahun ke depan, program pemerintah dalam pengendalian konsumsi produk IHT, pertanian tembakau dan cengkeh. Kemudian terkait volume rokok yang diproduksi pabrik, terkait ketenagakerjaan atau buruhnya, serta intensif untuk ekspor produk hasil tembakau.
"Kemudian dari sisi perindustrian kaitannya dengan produktifitas pabrikan, kemudian di kementrian tenaga kerja terkait masalah upah buruh dan kesejahteraan buru," ujar Wening.
Menyinggung besaran tarif cukai rokok yang dirasa memberatkan pelaku IHT di dua tahun berturut turut, bagi Imanina, karena di situasi pandemi Covid 19 ini penerimaan negara mengalami penurunan. Sehingga diharapkan cukai hasil tembakau (CHT) dapat membantu penerimaan negara.
Semoga ke depan cukai rokok bisa kembali disesuaikan dengan kemampuan IHT, ketika kondisi ekonomi nasional telah kembali normal, harapnya.
Sedangkan Wening berpendapat, karena pemerintah sudah dua tahun berturut turut menaikan besaran tarif cukai yang amat besar. Tahun 2021 ini pemerintah tidak lagi menaikan tarif cukai rokok. Alasannya, kebijakan kenaikan tarif cukai rokok yang dilakukan pemerintah berimbas pada menurunnya jumlah pembelian produksi hasil tembakau rakyat oleh para produsen rokok.
"Kalau pun karena faktor krisis ekonomi pemerintah perlu kembali menaikan cukai rokok. Kenaikannya tidak boleh lebih dari satu digit. 5% paling banyak," tutup Wening.