Yogyakarta, Gatra.com – Aset koruptor penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) bisa dirampas jika RUU Perampasan Aset disahkan. Penegakan hukum kita masih fokus ke pelaku dan bukan ke pengembalian kerugian negara.
Hal itu disampaikan peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Eka Nanda dalam webinar ‘Membedah Krusialnya Pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana’, gelaran PPATK - Fakultas Hukum UGM, kemarin, yang disaksikan Gatra.com, Kamis (8/4).
Eka menjelaskan Rancangan UU Perampasan Aset sebenarnya sudah cukup lengkap dan perlu disahkan. Dengan UU itu, kerugian negara dalam kasus-kasus bisa dikembalikan.
“Kasus Sjamsul Nursalim yang sudah di-SP3 dengan UU Perampasan Aset dananya masih bisa kita kejar. Jadi tidak fokus orangnya. Kelemahan kita, termasuk di KPK, fokus pada orangnya, tidak terlalu fokus ke perampasan aset,” tuturnya.
Menurutnya, kehadiran UU itu penting dalam membangun ekonomi negara. Penerapan UU Perampasan Aset juga bisa beriringan dengan hukum pidana dan mekanisme pajak. Apalagi, kata Eka, mengutip data ICW bahwa pada 2020 kerugian negara mencapai Rp56,7 triliun.
“Tapi yang kembali lewat uang pengganti hanya Rp8,9 triliun. Ini sudah jauh lebih baik dari penegakan tahun tahun sebelumnya. Tapi ada 40 T di luar sana yang sulit dicapai,” katanya.
Ia menyatakan saat ini memang sudah ada sejumlag mekanisme pengembalian kerugian Negara, seperti dengan uang pengganti, penyitaan asset dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU), gugatan ganti rugi, hingga pengembalian secara administrasi. “Tapi mekanisme saat ini sangat lemah dan tak bisa diharapkan,” katanya.
Eka menyebut contoh kasus First Travel yang menjerat pelaku dengan TPPU dengan ancaman hukuman bui 20 tahun. “Akibatnya MA menetapkan uang tidak dikembalikan ke yang berhak spt diatur di RUU Perampasan Aset. Uang itu bukan dari Negara. Negara diuntungkan saja tapi tidak menyelesaikan kejahatan ekonomi,” tuturnya.
UU Perampasan Aset juga dapat dikenakan pada kasus BLBI. “Dari banyak kasus BLBI, putusan tidak menggambarkan sepenuhnya kerugian yang diahirkan dari tindak pidana tersebut, sehingga eksekusinya sulit karena fokus pengadilan tipikor menjatuhkan pidana ke pelaku, tidak mengejar asetnya,” tutur Eka.
Eka menjelaskan kasus Sjamsul Nursalim yang telah dihentikan oleh KPK melalui penerbitan SP3. Penghentian kasus dengan kerugian Rp4,58 triliun itu dilatari pemberian surat keterangan lunas oleh Syarifudin Arsyad Temenggung (SAT).Mahkamah Agung (MA) akhirnya memutuskan SAT lepas.
“SAT terbukti merugikan negara, tapi bukan perbuatan pidana. Dengan putusan lepas, secara pidana asetnya tak bisa disita. Di RUU PA, putusan lepas jadi salah satu landasan penyitaan. Meski kasus di-SP3, itu hal yang berbeda dengan kita merampas aset Rp4,58 T yang terbuang,” tuturnya.
Langkah serupa juga dapat diterapkan untuk kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra, sering disebut Jokcan, jika RUU Perampasan Aset disahkan. “Penegakan hukum fokus ke Djoko Tjandra, bukan kerugian Rp798 miliar. Ini kelamahan penegakan hukum kita,” kata Eka.