Pekanbaru, Gatra.com - Pengamat politik dari Universitas Riau, Tito Handoko, menyebut sentimen etnis ikut melatari pindahnya politisi Partai Golkar, Catur Sugeng Susanto, menuju Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Menurut Tito sentimen tersebut menjadi salah satu pemicu ketidaknyamanan Bupati Kabupaten Kampar tersebut di Partai Golkar.
"Sentimen itu ikut berpengaruh, meski tidak dimunculkan ke permukaan. Yang jelas Catur tidak lagi merasa nyaman di Partai Golkar," ujarnya kepada Gatra.com, di Pekanbaru, Rabu (7/4).
Sebut Tito, keputusan Catur memilih PKB dengan sendirinya menguatkan alasan etnisitas dibalik keputusan politiknya. PKB merupakan partai yang mengakar di kalangan Nahdatul Ulama,khususnya transmigran asal Pulau Jawa, dimana Catur juga berasal dari pulau tersebut.
Catur sendiri resmi berstatus sebagai Bupati Kabupaten Kampar pada Februari 2019. Dia menggantikan Bupati Kabupaten Kampar Azis Zaenal yang meninggal pada penghujung 2018. Setahun setelah menjadi Bupati Kabupaten Kampar, Catur kemudian memikul status sebagai bagian dari Suku Domo pada Februari 2020. Suku Domo merupakan salah satu suku asli di Kabupaten Kampar.
Dikatakan Tito, selain sentimen etnis, Catur juga tidak bisa leluasa di Partai Golkar. Hal ini terlihat dari kesulitanya mengendalikan teritorial (pengurus kecamatan) Partai Golkar di Kabupaten Kampar, yang kemudian berimbas pada kegagalan Catur menjadi Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) II Partai Golkar Kabupaten Kampar.
"Jadi ada persoalan jaminan personal yang dirasa menghambat karir politiknya di Partai Golkar Kampar, sehingga akhirnya berlabuh ke PKB," bebernya.
Lanjutnya, selama di Golkar Kampar, pengaruh Catur juga dipertanyakan. Pada pemilu 2019 dengan status sebagai Bupati Kabupaten Kampar, Catur gagal menunjukan pengaruh politiknya. Ini terlihat pada capaian Partai Golkar pada pemilu 2019, dimana Golkar meraih 6 kursi di DPRD Kampar, berkurang dari 9 kursi hasil perolehan pemilu 2014.
"Padahal Golkar merupakan partai lama dan sudah mengakar di Kampar. Catur sebagai bupati tidak mampu memainkan peran seperti Bupati di Kabupaten Pelalawan, Indragiri Hulu, serta Inhil. Bupati di daerah tersebut masih bisa mempertahankan pamor Golkar," pintanya.
Di PKB, Catur akan lebih leluasa melakukan kerja-kerja politik, sebab ia akan lebih mudah membangun komunikasi politik dengan warga Jawa yang terafiliasi dengan Nahdatul Ulama, maupun Jawa nasionalis. Adapun Catur merintis karir politiknya di Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar. Kecamatan tersebut dikenal sebagai salah satu sentra perkampungan transmigrasi di Riau.
Suku Jawa sendiri ditilik dari komposisi demografi Provinsi Riau, memiliki persentase 29,20% (Provinsi Riau dalam angka 2016). Persentase tersebut merupakan terbesar kedua setelah etnis Melayu 33,20%. Sementara itu jumlah penduduk Riau berdasarkan sensus 2010 lebih kurang 5,5 juta jiwa. Ada pun jumlah pemilih di provinsi ini untuk pemilu serentak 2019 mencapai 3,8 juta jiwa.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Pemenangan Pemilu DPD I Partai Golkar Provinsi Riau, Ikhsan, menyebutkan pihaknya tidak pernah mengkultuskan sosok tertentu dalam struktur partai. Oleh sebab itu keluarnya Catur dari Partai Golkar lebih kepada keinginan politik seorang Catur.
Katanya lagi, sebagai partai terbuka Golkar juga tidak mengkhuskan diri dengan kelompok etnis tertentu. Ia pun meragukan Golkar akan kehilangan basis suara dari etnis Jawa di Kampar, hanya karena keluarnya Catur dari partai.
"Golkar kan bukan partai personal, ini partai terbuka, jadi tidak bergantung pada satu individu dalam melakukan kerja-kerja politik. Itu terserah dia mau keluar, kader Golkar banyak," katanya.