Yogyakarta, Gatra.com – Penyair Umbu Landu Paranggi meninggal pada usia 78 tahun di RS Mandara, Bali, Selasa (6/4). Salah satu muridnya, budayawan Emha Ainun Najib, sempat mengirim doa saat kondisi Umbu menurun, Senin malam.
Doa Cak Nun, sapaan Emha, dilantukan saat peluncuran buku puisinya ‘Mensyukuri Rahman Rahim Cinta’ yang disiarkan secara daring dari rumah Cak Nun di Gang Barokah, Kadipiro, Yogyakarta. “Mari konsentrasi pada Allah, berita terakhir Mas Umbu drop lagi. Kemarin sore masuk ICU,” ujar dia di awal acara.
Saat itu, Cak Nun juga mengungkap bahwa sang mertua, ayah dari Novia Kolopaking, tengah dirawat di rumah sakit di Jakarta karena komplikasi penyakit. “Itu semua kita mohon kepada Allah untuk yang terbaik. Yang terbaik itu apa, bukan kita yang mempertimbangkan tapi Allah,” tuturnya.
Cak Nun juga mengajak untuk mengenang para sastrawan dan kerabat yang telah berpulang. “Saya bukan ahli berdoa. Saya hanya terbiasa menyapa allah. Doa itu dari asal katanya bukan soal minta-minta tapi menyapa, mengakui kehadiran-Nya,” kata dia.
“Kami hanya bisa menunggu, mendambakan keputusan-Mu yang terbaik untuk saudara kami, senior kami, Mas Umbu dan semuanya,” ujarnya.
Cak Nun lantas memimpin pembacaan surat Alfatihah dan doa. “Engkaulah yang mengerti kebaikan dan yang mengerti yang baik bisa mereka terima. Dan kami akan menuruti mematuhi apapun yang terbaik bagi Allah kepada hambanya,” tuturnya.
“Kami mohon kasih sayangmu untuk bapak mertua saya, untuk guru saya Umbu Landu Paranggi, untuk (sastrawan) Mustofa Hasyim, untuk hamba-hambamu yang selama ini bekerja keras dengan meneteskan keringat dan airmata untuk memperjuangkan cinta dan nilai-nilai Mu ya Allah,” ujar Cak Nun.
Umbu Landu Paranggi lahir di Waikabubak, Pulau Sumba, pada 1943. Ia mengasuh komunitas sastra di Yogyakarta pada 1960-an sehingga dijuluki Presiden Malioboro. Umbu menjadi guru bagi sejumlah seniman seperti Emha dan musisi Ebiet G Ade. Pada 1975, Umbu pindah ke Bali hingga akhir hayatnya hari ini.
"Saya mengenalinya sebagai zuhud: berpuasa dari kemewahan dan gegap gempita dunia. Ia meninggalkan harta, kekuasaan, wanita, kemasyhuran dan menyimpan uang dalam bungkusan plastik dipendam di tanah," tulis Cak Nun di esai 'Presiden Malioboro' yang diunggah pada 2012 di laman caknun.com.