Home Hukum Muhammadiyah: Pakai Logika Perang, 131 Terduga Teroris Tewas

Muhammadiyah: Pakai Logika Perang, 131 Terduga Teroris Tewas

Yogyakarta, Gatra.com – Penanganan terorisme di Indonesia mewarisi logika peperangan dan tanpa menerapkan sistem peradilan pidana secara baik. Sedikitnya 131 terduga teroris tewas saat upaya penangkapan dan belum disidang.

Hal ini disampaikan Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah sekaligus Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Trisno Raharjo. Trisno berbicara di diskusi daring ‘Problematika Penegakan Hukum Tindak Pidana Terorisme’ yang disaksikan Gatra.com, Senin (5/4).

“Yang harus digunakan sistem hukum pidana. Kalau logikanya peperangan, itu seperti pakai UU subversif di masa lalu. Ini yang dipakai semboyan mematikan, bukan melumpuhkan,” katanya.

Menurutnya, data Komnas HAM menunjukkan selama 2002-2016 ada 120 terduga teroris meninggal kendati belum disidang.

“Sampai saat ini tidak kurang 131 terduga yang meninggal. Saya belum menghitung yang di Mabes Polri. Ini karena mereka dimatikan, padahal seharusnya dilumpuhkan, dibawa ke pengadilan,” tutur Trisno sambil menginggung soal ZA, perempuan penyerang Mabes Polri.

Trisno pun mempertanyakan kasus ZA yang mampu membawa senjata di Mabes Polri. “Itu adalah kesembronoan terbesar. Saya masuk Mabes saja susah. Bawa tas dicurigai, apalagi ransel, dibuka semua. Apa yang terjadi sebenarnya, saya tidak paham,” katanya.

Menurutnya, banyak hal dalam penanganan terorisme tak dibuka ke publik atau lembaga resmi seperti Komnas HAM. Ia mengakui keterbukaan proses hukum ini tak lantas menyelesaikan masalah terorisme. “Tapi ini jadi dasar penanganan jadi lebih baik dan belajar dari apa yang terjadi,” katanya.

Trisno menyatakan, sesuai tugasnya, polisi memang memiliki risiko saat menghadapi terduga teroris. Namun aparat tetap harus dibekali kemampuan melumpuhkan dan penghornatan terhadap hak asasi manusia.

Ia juga mengkritik sistem peradilan pidana terorisme yang terpusat dan tertutup. Padahal hal ini tidak diamanatkan dalam UU Terorisme. Kondisi itu sesuai pengalamannya saat mengadvokasi tiga orang tangkapan Densus 88 di Yogyakarta pada 2018.

“Densus tertutup, tidak mudah dihubungi. Aparat di Yogyakarta tidak tahu apa-apa kalau Densus datang. Saya yakin ini sama persis dengan yang sekarang,” kata dia menyebut operasi Densus 88 di Yogyakarta beberapa hari ini.

Trisno menyebut mereka yang ditangkap Densus 88 ditahan dan disidang di Jakarta. Sidang bahkan kerap digelar secara sunyi. “Sidang tertutup ini bisa saja terjadi pelanggaran. Disidang selalu di Jakarta, padahal kalau disidang di lokasi tindak pidananya, masyarakat akan aware ada tindak terorisme,” ujarnya.

6988