Yogyakarta, Gatra.com – Kegamangan negara menindak praktik eksklusivisme dan aksi kekerasan kelompok terhadap warga mnioritas turut memicu tumbuh suburnya aksi terorisme di Indonesia. Pelaku teror dari kelas menengah menunjukkan terorisme juga lahir dari persepsi ketidakadilan, bukan kondisi ketidakadilan itu sendiri.
Hal itu dikemukakan koordinator Jaringan Gusdurian Indonesia, Alissa Wahid, dalam diskusi daring ‘Bom di Makassar dan Penembakan Mabes Polri: Perspektif Toleransi dan Demokrasi’, yang disaksikan Gatra.com, Senin (5/4).
Ia menjelaskan, sejauh ini jumlah serangan aksi teror berkurang dan tak memiliki daya hancur besar seperti Bom Bali karena keberhasilan polisi menangani jaringan teroris.
“Akan tetapi, aksi teror di Makassar dan Mabes Polri adalah reaksi sweeping terhadap jaringan sel teror. Para calon pelaku ini akan memilih akselerasi aksi karena pilihannya ada dua: mati dalam aksi sesuai tujuan mereka atau ditangkap aparat,” tutur psikolog yang mukim di Yogyakarta ini.
Ia melihat munculnya tren baru berupa perempuan dan keluarga sebagai pelaku aksi teror. Mereka bukan dari kalangan bawah, tapi kelas menengah. Fenomena ini bukan hanya di Indonesia, tapi juga ditemukan di negara lain seperti Sri Lanka.
“Terorisme bukan hanya disebabkan ketidakadilan, tapi juga persepsi atas ketidakadilan. Kalau soal ketidakadilan langsung akan tidak cocok dengan profil pelaku,” tuturnya.
Alissa menjelaskan, pelaku bom Surabaya bukan keluarga miskin. Zakiyah Aini, penyerang Mabes Polri, juga bukan dari keluarga kelas bawah, bahkan dia berkuliah. Dhania, perempuan muda dari Batam, bahkan mengajak bapaknya yang pejabat dan keluarganya bergabung ISIS.
“Terorisme tidak ujug-ujug (tiba-tiba) tapi datang dari eksklusivisme. Bukan langsung ke aksi, tapi ada proses yang meningkat,” kata dia.
Ia memaparkan, eklusivisme dan ekstrimisme tak hanya ada di Indonesia dan tak hanya ada di satu agama. Pelaku di Indonesia umat Islam karena mayoritas agama di Negara kita adala Islam. Di belahan lain dunia, aksi teror dari berbagai agama dan latar belakang ideologi.
“Betul sekali kalau dikatakan terorismeitu tidak terkait dengan agama tertentu. Tapi kalau dikatakan terorisme tidak terkait agama itu agak meleset karena aksi teror dilandasi tafsir agama yang tidak tepat,” ujarnya.
Menurutnya, terorisme yang dimotivasi agama atau keyakinan. “Keagamaan sangat rentan picu terorisme karena punya karakter komunal dan atas nama Tuhan, sehingga bisa mempengaruhi seseorang untuk melakukan melebihi kemanusiaannya,” kata dia.
Ia menyatakan, kaum ekstrimis dan pelaku teror berjumlah kecil. “Tapi mereka terus mempengaruhi publik mainstream dengan sentimen kebencian, sehingga jadi lahan jadi subur untuk tumbuh dan tersemai,” paparnya.
Alissa pun menguraikan tahap-tahap perubahan dalam diri para teroris. Mulai dari penguatan identitas ekslusif melalui narasi bahwa agama atau kelompoknya yang utama, internalisasi nilai eksklusif yakni dengan penentangan antara 'kami' dan 'mereka', tahapan ekslusivisme ke superioritas lewat narasi kejayaan, hingga perilaku nyata mereka seperti aksi pengeboman.
Dari empat tahap itu, Alissa menilai pemerintah baru berhasil dalam menangani para pelaku teror. Namun tahap-tahap sebelumnya belum menuai hasil. Hal ini karena beberapa faktor, seperti nation building yang belum usai, ketersediaan bahan ideologisasi, hingga kegamangan publik dan negara menyikapi eksklusivisme.
“Semua menolak terorisme tapi saat bicara eksklusivisme, negara tidak menganggap ini persoalan,” katanya.
Menurutnya, kelompok yang menggunakan kekerasan, walau bukan terorisme, seperti sweeping atau penyerangan rumah ibadah, diatasi dengan pendekatan sosial harmoni. “Negara, pemerintah lokal, dan, kepolisian (meminta) yang minoritas ngalah. Dasarnya mencegah konflik,” katanya.
Alissa bercerita kondisi ini bahkan dialami ibunya, Ibu Negara Sinta Nuriyah Wahid, saat menggelar diskusi lintas iman dan dibubarkan oleh FPI Jawa Tengah beberapa tahun lalu. Kala itu, polisi justru meminta acara dibatalkan.
“Niatnya sosial harmoni tapi melanggar hak konstitusi warga negara minoritas. Hasilnya kebencian dan tindakan kekerasan tumbuh subur,” kata dia.
Dengan kondisi itu, termasuk karena pembiaran ujaran kebencian dan masifnya politik identitas, banyak orang mudah direkrut sebagai pelaku teror.
Untuk itu, ia menyebut tantangan bangsa Indonesia saat ini harus mampu memenangi pertarungan gagasan sesuai nilai kemanusiaan, menang dalam pertarungan digital, memperkuat praktik moderasi beragama, dan membangun praktik bernegara berlandaskan hak konstitusi.
“Menghancurkan sel jaringan terorisme itu hanya satu bagian dari PR kita untuk menanggulangi aksi teror,” ucapnya.