Jakarta, Gatra.com – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan bahwa kandungan Bisfenol A (BPA) pada kemasan galon air minum dalam kemasan (AMDK) atau galon isi ulang dalam batas aman.
BPOM dalam laman resminya menyatakan bahwa berdasarkan hasil pengawasan pihaknya terhadap kemasan galon AMDK yang terbuat dari Polikarbonat (PC) selama lima tahun terakhir, menunjukkan bahwa migrasi BPA di bawah 0.01 bpj atau 10 mikrogram per kg atau masih dalam batas aman.
Untuk memastikan paparan BPA pada tingkat aman, BPOM telah menetapkan Peraturan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. Peraturan ini mengatur persyaratan keamanan kemasan pangan termasuk batas maksimal migrasi BPA maksimal 0,6 bpj atau 600 mikrogram per kg dari kemasan PC.
"Kajian Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) menyatakan belum ada risiko bahaya kesehatan terkait BPA karena data paparan BPA terlalu rendah untuk menimbulkan bahaya kesehatan," demikian dikutip dari laman BPOM pada Minggu (4/4).
EFSA menetapkan batas aman paparan BPA oleh konsumen adalah 4 mikrogram per kg berat badan per hari. Sebagai ilustrasi, seseorang dengan berat badan 60 kg masih dalam batas aman jika mengonsumsi BPA 240 mikrogram per hari.
Selain melakukan pengawasan produk di peredaran, BPOM juga terus mengedukasi masyarakat terkait keamanan pangan termasuk kemasan pangan, melalui mobilisasi para kader keamanan pangan dan tokoh masyarakat.
Terkait informasi yang beredar bahwa kandungan BPA pada galon isi ulang berbahaya yang sempat beredar di lini massa, Kominfo pun lantas menyatakan bahwa ini merupakan disinformasi atau informasi yang tidak tepat. Ini mengacu pada penjelasan BPOM.
Terkait persoalan ini, Change.org pun telah telah menurunkan petisi "Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM): Selamatkan Bayi Kita dari Racun Bisphenol A (BPA)" karena megandung konten disinformasi.
Direktur Komunikasi Change.org, Arief Aziz, dalam keterangan tertulis akhir pekan ini menyampaikan, pihaknya diminta Kominfo untuk menurunkan petisi tersebut dari laman karena dinilai terdapat disinformasi.
"Kemudian kami langsung mengirim surat secara formal ke tim global kami di pusat supaya bisa diproses pencabutan petisinya. Kita juga memberitahukan penggagas petisi apa yang telah terjadi dengan alasan penurunan petisinya," katanya.
Ia menjelaskan, siapapun bisa membuat petisi. Change.org mewadahinya agar mereka bisa berkampanye untuk memobilisasi pendukung dan bekerja dengan pengambil keputusan untuk mencari solusi.
Meski demikian, pembuatan petisi di laman ini ada aturan main. Petisi tidak boleh melanggar aturan (flagging mechanism) yang telah ditetapkan, di antaranya konten tidak boleh mengandung kekerasan, pornografi, ujaran kebencian, dan disinformasi.
"Jika kami menemukan bahwa konten itu melanggar pedoman komunitas atau ketentuan layanan kami, kami berhak untuk menghapusnya," kata dia.
Sedangkan soal disinformasi, Arief menyampaikan bahwa pihaknya mengalami kesulitan untuk mengategorikannya. Makanya, kalau dilihat di panduan komunitas kasus disinformasi ini tidak bisa sembarangan untuk ditetapkan sebagai petisi disinformasi.
"Untuk kasus ini kami bisa putuskan langsung untuk menurunkan petisinya jika ada surat resmi dari pihak berwewenang yang menyatakan bahwa petisi itu merupakan disinformasi. Yang berwewenang dalam hal ini adalah pemerintah atau lembaga hukum lainnya," kata dia.
Arief mengatakan Change.orgmempunyai tim kebijakan atau policy yang akan menangani kasus-kasus seperti ini. “Jadi kalau misalnya ada satu hal yang kita lihat di sini bahwa disinformasi petisi itu efeknya bisa berdampak buruk sekali, maka mungkin saja kita putuskan untuk kita turunkan. Tapi dengan adanya kemudian permintaan dari yang berwewenang maka petisi itu menjadi lebih kuat untuk kita turunkan,” tukasnya.
Menurutnya, sanksi lebih tegas akan diberikan terhadap akun si penggagas petisi, jika dia mencoba untuk mengulangi lagi untuk membuat petisi yang sama di Change.org, “Jika demikian biasanya akunnya kita freeze sehingga tidak bisa lagi membuat petisi yang sama,” ucap Arief.